Negeri Sukun

Langit megap-megap. Hitam. Sesekali kilat membuatnya benderang. Bumi gonjang-ganjing. Angin kencang berputar berkali-kali, pohon menari-nari seperti ingin berlari. Ranting-ranting rapuh berhamburan, ikut bercengkrama dengan dedaunan dan bebatuan di lapangan. Ini sudah takdir – yang tak pernah luput dalam hitungan Tuhan.

Petir menyambar sekali lagi. Suaranya menggelegar keras. Kata anak-anak kecil, itu suara malaikat yang sedang memecut setan. Kiai Badrun hanya tertawa jika anak-anak kecil itu berkata demikian. Yang ia tahu kemudian, anak-anak itu berlarian masuk ke dalam rumah dan mengucap zikir sebanyak-banyaknya agar setan tidak mengikuti langkah mereka dan malaikat ikut mencambuk rumah-rumah mungil mereka.

Biarlah hujan tetap menjadi rezeki yang diturnkan Allah, bukan pertanda bagi amarah. Biarlah air-air yang menderas itu menumbuhkan jutaan benih yang tertanam dan menghidupkan tanah yang mati. Biarlah alirannya mengalir hingga ke hilir, menuju persinggahannya yang terakhir. Biarlah semua berputar apa adanya sesuai Sunnah-Nya yang Maha Mulia. Jika pun timbul kerusakan, tak ada yang dapat dipersalahkan, kecuali ulah manusia yang tak tahu diri.

Tiba-tiba muncul Jarun – murid Kiai Badrun yang sontoloyo, ke dalam pondok kecilnya sambil berteriak keras-keras, “Assalamu’aikaum, Kiai…”

Badannya basah kuyup diterpa hujan yang semakin menderas. Kiai Badrun tidak segera mempersilakannya masuk. Dibiarkannya Jarun berdiri di depan pintu sampai Hindun, istrinya, selesai berkemas dengan jilbabnya.

“Di sana saja dulu. Biarkan istri saya ambilkan dulu handuk supaya badanmu kering.”

“Tapi, Kiai…”

Jarun melompat masuk ke ruang tamu. Muridnya itu membuat lantai basah. Air hujan yang dibawa dalam serat kain bajunya membanjir ke lantai. Mukanya sedikit memerah. Agak malu dengan tingkahnya, rupanya.

“Terpaksa nih, Kiai. Maaf.”

“Terpaksa kenapa, toh?”

“Orang-orang sudah pada pergi ke sini. Meminta pertanggungjawaban Kiai.”

“Tanggung jawab apa?”

“Tanggung jawab tentang anaknya Pak Muslimun.”

Ah, Pak Muslimum. Anaknya baru lahir kemarin pagi. Perempuan. Manis, putih, lucu. Matanya bulat seperti mata Hindun, rambutnya ikal, dan lesung pipinya tertancap manis setiap kali pipinya bergerak. Sayang, Pak Muslimum terlalu berkeras kepala dengan memberikan nama yang terlalu cantik buat ukuran negeri ini: Nurul Fatihah. Anak pertama, dengan nama surat pertama.

Nama yang indah sebenarnya. Namun, penduduk negeri menganggapnya bid’ah. Pak Muslimum telah mengkhianati adat ketimuran negeri ini dengan memberi nama yang keliru pada anaknya. Mereka menganggap Pak Muslimun dengan keluarganya telah membuka jalan baru ke neraka, membuat perkara baru yang tidak direstui dan dicontohkan umat terdahulu di negeri ini. Bagi penduduk, ini bisa menjadi awal petaka.

Orang-orang harus mengerti bahwa Negeri Sukun merupakan negeri unik. Negeri Sukun adalah negeri dengan ribuan sukun. Bila tidak sukun pun, rupanya adalah dhammatain. Sehingga, setiap kali disebut, yang terdengar di akhir nama penduduknya adalah –un. Semua rata, tidak ada yang tidak sama. Kiai Badrun, Jarun, Muslimum, Hindun, Manun, Lailatun, Qomariyatun, Makmun. Semua –un. Tidak ada, atau lebih tepatnya, tidak boleh ada nama selain memakai akhiran –un. Ini adalah amar dari leluhur, katanya. Tidak boleh dilanggar meski tidak pernah jelas siapa yang memulai adat ini. Bahkan, Kiai Badrun sekalipun tidak pernah tahu sebenar-benar asal muasal warisan adat ini.

Semua nama penduduk di negeri ini juga hanya satu kata. Entah siapa pula yang membuat peraturannya. Namun, tradisi adalah jalan yang harus dihormati. Mencederainya hanya akan menambah masalah negeri, kata para tetua.

Orang-orang pun percaya bahwa nama Negeri Sukun diambil karena nenek moyangnya selalu ingin hidup tenang dan rukun. Sakinah, intinya. Karena memang dua kata itu, sukun dan sakinah, punya akar makna yang sama. Maka, segala pertikaian, selisih pendapat, atau apapun harus di-sukun-kan, dihentikan. Berhenti pada satu titik, kadang berpanjangan dan konstan. Harakat-nya teratur, tidak sembarang bunyi atau mengetuk.

~oOo~

Artikel di atas dikutip dari buku Negeri Sukun halaman 1 – 3. Buku ini ditulis oleh Ahmad Fuady dan diterbitkan oleh Republika (Maret, 2009) setebal iv+238 halaman.