Nas, sudahlah…

Hari-hari belakangan ini aku selalu bermimpi buruk tentang dirimu. Please, jangan kamu penggal dulu pernyataanku ini. Iya.. iya.. kamu selalu bilang jangan percaya akibat dari sebuah mimpi buruk. Hanya akan membebani hati dan fikiran saja. Lalu kamu menceritakan kisah Nabi Yusuf yang menafsirkan mimpi raja Mesir saat itu. Intinya, kamu bilang biarlah Nabi Yusuf saja yang tepat menafsirkan mimpi seseorang. 

Bukan begitu, maksudku menceritakan mimpi buruk kepadamu agar kamu eling dan waspada. Aku sangat risih mendengar dan membaca berita tentang dirimu. Bayangkan saja, sahabatku yang paling saudara diberitakan jelek seperti itu. Sungguh, aku berusaha tak mau memercayai apa yang aku dengar dan apa yang aku lihat.

Sudahkah kamu banyak berubah?

Aku ingat ketika kamu pamitan hendak merantau ke ibukota. Dengan motor honda bututku, aku mengantarmu ke stasiun kota. Hei, kami masih ingat motor honda ini bukan?

Motor inilah yang mengantar kita ke mana-mana. Sebagai aktivis kampus, motor butut ini terasa sangat berjasa buat kita yang punya mobilitas sangat tinggi. Jika kemalaman di jalan, tak jarang kita menginap di serambi mesjid. Esoknya, kita lanjutkan lagi perjalanan untuk memperjuangkan sebuah prinsip yang bernama keadilan.

Tahun kedua di ibukota, kamu makin jarang mengirim berita untukku. Tapi, lewat koran aku mengikuti sepak terjangmu. Suatu ketika aku ingin bertemu denganmu untuk melepas rindu. Aku bersyukur kamu masih ingat padaku. Wah, kamu wangi dan perlente. Lalu, kamu mengajakku makan siang di sebuah restoran mewah – dan aku grogi ketika duduk di kursinya – dengan menu  serba mahal.

Makanan yang tersaji di depan kita terasa asing bagiku. Beberapa di antaranya aku tak mampu menelannya. Hey, bukan tak enak makanan itu, namun aku sedang ingat anak-istriku di rumah lagi makan apa. Ketika aku pamit pulang ke kampung kamu menyelipkan segepok uang di saku bajuku. Aku gemetaran dan berseloroh menanyakan kepadamu: uang ini bukan hasil korupsi kan?

Pertemuan itu adalah pertemuan terakhir kita, karena setelah itu tak ada lagi komunikasi di antara kita. Namun, aku selalu mengikuti sepak terjangmu di ibukota.

Kamu makin sibuk saja, sahabatku. Hmm… rupanya modal menjadi aktivis kampus dulu bisa mendongkrak kariermu. Aku turut bangga.

Bersambung…