Surtikanthi tak pernah bosan mengenang kemesraan bersama suaminya, Adipati Karna. Mereka pintar menjaga dan menyuburkan cinta yang selalu ada di hati. Betapa ia selalu ingat bagaimana awal perjumpaannya dengan Karna, pemuda yang tiba-tiba muncul di Hastinapura dan dianugerahi tahta tertinggi di Kerajaan Awangga oleh Prabu Destarastra, ayah Duryodana. Lalu, di hari-hari berikutnya pemuda tampan itu telah mencuri perhatiannya.
Karna sesungguhnya tahu diri. Atas usul Duryodana kepada ayahnya ia diangkat menjadi Raja Awangga, maka tak enak baginya ingin meminta Surtikanthi yang telah dipersiapkan menjadi permaisuri Duryodana menjadi kekasih hatinya, bahkan mungkin kelak menjadi istrinya. Tapi kalau sudah cinta, mau bilang apa?
Karna, tahukah kau, sesungguhnya Duryodana lebih memilih Banowati – kakak perempuan Surtikanthi, untuk dijadikan permaisurinya. Jadi, inilah kesempatanmu mendapatkan Surtikanthi.
Maka percintaan Karna-Surtikanthi dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Surtikanthi tersenyum sendiri jika mengenang masa-masa pacaran mereka dulu. Karna kekasihku, hadirlah barang sejenak, mari kita kenang kemesraan-kemesraan kita dulu. Mengenang itu semua membuat hati Surtikanthi makin merana karena rindu yang menyesakkan dadanya.
Ia ingat benar, pertama kali ia mendapati setangkai mawar merah di meja riasnya. Siapa gerangan yang telah mengirimkan mawar untuknya? Pada tangkainya terdapat kertas kecil bertuliskan:
jantungku memompakan namamu buatku
tanpa henti, tanpa kenal ampun
namamu, namamu, namamu
Siapa sih? Mungkinkah anak kusir kereta itu yang mengirimkan mawar ini untukku? Surtikanthi tak berani berandai-andai Karna yang mengirimkan mawar itu. Jika iya benar Karna yang mengirimkan untuknya, kalau bukan Karna bagaimana? Apakah ia tak akan kecewa hatinya?
Surtikanthi bertanya kepada para emban di Keputren siapa yang menaruh setangkai mawar di meja riasnya. Tak ada yang tahu. Surtikanthi penasaran. Namun, ia tetap menyimpan mawar itu. Pada suatu kesempatan, ketika Karna berbincang dengan Duryodana, ia meminta kepada Surtikanthi supaya diizinkan menyajikan minuman kepada mereka.
Pada saat gadis itu meletakkan gelas di meja, tak disangka Karna membisikkan sesuatu ke telinganya: apakah mawarku telah kau terima? Surtikanthi gemetar mendengar bisikan Karna, dan nampan di tangannya terjatuh dan menimbulkan sedikit kegaduhan. Ia segera berlalu meninggalkan Duryodana yang terbengong-bengong menyaksikan ulah Surtikanthi.
Sampai di dapur Surtikanthi mencoba menenangkan gejolak hatinya. Jadi benar, Karna yang mengirimkan bunga itu untukku? Itulah awal terbukanya hati Karna-Surtikanthi untuk saling mencinta.
Karna, jika kau laki-laki sejati sampaikan perasaanmu itu kepada sahabatmu Duryodana yang diskenariokan menjadi suami Surtikanthi. Cinta itu harus memiliki, wahai putra Dewa Matahari.
Apa enaknya jatuh cinta secara sembunyi-sembunyi, seperti yang ia lakukan bersama Surtikanthi? Karna pun bertekad hati untuk mengatakan kepada Duryodana: izinkan aku memiliki Surtikanthi lahir dan batinnya.
Duryodana tertawa mendengar permintaan sahabatnya itu, bahkan lalu merangkulnya. Cintailah Surtikanthi, saudaraku Karna. Aku tak mencintai Surtikanthi, aku memilih Banowati sebagai permaisuriku. Surtikanthi adalah takdir cintamu.
Muluskah percintaan Karna-Surtikanthi? Tidak. Ada sedikit hambatan. Siapa lagi kalau bukan dari playboy Pandawa: Arjuna. Kemaruk nian si keong racun Arjuna itu. Banowati sejak lama telah diembatnya, kini ia mengincar adiknya. Tentu saja, Karna tak terima. Ia harus memperjuangkan cintanya.
Syahdan, Arjuna pun kena batunya. Ia dihajar habis-habisan oleh Karna. Jika Bathara Narada tak turun tangan, bisa-bisa Arjuna tidak bisa melihat lagi indahnya dunia.1
Kembali Surtikanthi tersenyum jika mengenang peristiwa tersebut. Ia pun memutar CD lagu-lagu cinta dentingan piano milik Jaya Suprana.
Akhirnya memang harus happy ending, Karna dan Surtikanthi bersatu dalam tali perkawinan yang agung. Ketika mereka duduk di pelaminan, Karna membisikkan ke dekat telinganya: akulah cinta terakhir di dunia ini.
Dan benar saja, hingga Karna tiada karena gugur di medan Kurusetra, Surtikanthi tetap setia kepada cintanya.2
1 Dalam kisah pewayangan, pertempuran Karna-Arjuna menyisakan luka di pelipis Karna. Bathara Narada lalu menyematkan sebuah mahkota ke kepala Karna untuk menutup luka tersebut. Perang tanding Karna-Arjuna tersebut saking eloknya telah mengilhami terciptanya sebuah tarian yang bernama Wireng Karna Tinanding.
2 Beberapa kali saya kisahkan Karna-Surtikanthi, namun saya belum tega menceritakan kematian Surtikanthi seperti versi wayang Jawa di mana ketika mendengar Karna gugur di Baratayudha ia berlari mencari jasad suaminya itu kemudian melakukan bunuh diri.