Namaku Mata Hari

Terbenam matahari
Malam mulai sunyi
Burung hantu berbunyi
Di pohon yang tinggi
Kukuk kukuk kukuk kukuk kukuk
Kukuk kukuk kukuk kukuk kukuk

Aku terperanjat mendengar nyanyian Nyai Kidhal. Betapa pintarnya orang Indonesia mengutak-atik melodi lagu bahasa Belanda menjadi Indonesia. Aku tidak tahu harus menyebut apa kepintaran ini: kreatif atau kriminal?

Waktu itu aku belum fasih berbahasa Indonesia. Aku belum tahu apakah kata dalam setiap larik itu merupakan terjemahan atau saduran. Yang sekejap menarik perhatianku dari nyanyian Nyai Kidhal itu adalah kata kedua di larik pertama lagu, ‘matahari’. Kata ini terasa enak di telinga.

Maka aku bertanya pada Nyai Kidhal, “Wat is ‘matahari’ toch?’

Jawab Nyai Kidhal, “Letterlijk, ‘mata’ betekent ‘oog’, en ‘hari’ betekent ‘dag’.”

Aku mengerti. Ternyata lirik bahasa Indonesia itu bukan terjemahan dalam arti translasi melainkan transkreasi. Tapi aku girang mendapatkan sebuah kosakata berkesan: mata hari.

“Maar, Mevrow, u moet niet zeggen ‘mata’ en ‘hari’,” kata Nyai Kidhal. “Maar matahari.”

“Ik begrijp. Jij bedoelt ‘de oog van de dag’ toch?” kataku.

Cepat-cepat Nyai Kidhal menyalahkan. Katanya, “Nee, ‘matahari’ is en woord, oorspronklijke zin van ‘zon'”

“Oh?”

Aku senang mendengar itu.

Sekonyong timbul aci-acian dalam pikiranku yang tampaknya istimewa. Kosakata ‘matahari’ itu begitu hebat tertancap dalam ingatanku. Matahari berarti panas. Orang-orang di Belanda hanya menikmati panasnya matahari dalam satu musim yang tidak lebih dari empat bulan. Pikiranku sekarang, kalau matahari itu panas, dan sifat panasnya dipindahkan ke perempuan pada perangainya, niscaya perempuan yang diandaikan berperangai panas, akan tetap tidak berubah dalam dua belas bulan. Hubungannya ke depan nanti adalah, yang kompeten menilai panasnya perempuan tentulah hanya lelaki. Pasti lelaki bakal punya perhitungan-perhitungan tersendiri untuk menilai mutu dan manfaat panasnya perempuan.

Nalarku mengatakan, panasnya perempuan beda dengan panasnya benda-benda lain. Kalau lelaki memegang benda-benda panas, taruhlah kuali, pasti lelaki itu akan segera melemparnya. Tapi kalau lelaki itu memegang perempuan yang panas, pasti lelaki itu akan berlama-lama mendekapnya. Ini memang bicara berandai-andai. Ini harus dibuktikan melalui pengalaman.

[dikutip dari Novel Namaku Mata Hari halaman 55 – 56]

~oOo~

Anda tentu mengenal nama Mata Hari, sebuah nama yang tercatat di berbagai literatur, terutama dihubungkan dengan spionase, mata-mata, intrik, juga sensualitas. Mata Hari adalah nama panggung dari Margaretha Geertruida (Grietje) Zelle seorang penari eksotis, di akhir hidupnya ditembak mati karena menjadi mata-mata pada Perang Dunia I. Kisah hidup perempuan anak seorang pembuat dan pemilik toko topi kelahiran Belanda ini cukup suram. Dia pernah dikeluarkan dari sekolah guru gara-gara main skandal dengan kepala sekolahnya, pernah ditinggal mati anak laki-lakinya akibat keracunan.  Ia menikah pada usia 18 tahun dengan seorang angkatan laut Belanda yang usianya terpaut 20 tahun lebih tua darinya, lalu bercerai. Ia dibawa suaminya tinggal di Jawa dan Sumatra antara 1897-1902. Belakangan, suaminya itu kawin dengan Nyai Kidhal.

Dengan berbekal keahlian erotic temple dances yang dipelajari di India dan daya pikatnya yang tinggi, ia menjadi terkenal di mana-mana. Tak heran bila banyak tawaran menari berdatangan dari kota-kota besar di Eropa sampai ke Mesir. Kondisi inilah yang kemudian menyeretnya dalam dunia spionase dengan kode rahasia H21. Mata Hari kemudian sering berkelana baik antar kota maupun antar negeri. Karena terkenal sering bepergian, maka dia tidak punya kesulitan untuk menyusup, termasuk dalam masa Perang Dunia I. Di banyak tempat dia melakukan affair dengan banyak orang penting, juga ditawari sebagai mata-mata Perancis dengan honor 1 juta Frank pada saat itu.

Kisah Mata Hari di atas dengan sangat apik ditulis ulang oleh Remy Sylado dalam novel yang berjudul Namaku Mata Hari (Gramedia Pustaka Utama, 2010). Novel setebal 559 halaman ini mengisahkan periode hidupnya yang belum banyak disingkap yakni hidup Mata Hari di Indonesia.