Syahdan, Kyai Semar sedang bersedih hati. Ia merindukan kedatangan kedua anaknya selain Bagong, yaitu Petruk dan Gareng. Ia duduk di ruang tamu sambil memandangi foto fenomenal kerabat Karang Tumaritis: Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Ia paksakan tersenyum ketika mengingat bagaimana ia mengangkat Trio Gareng-Petruk-Bagong sebagai anak-anaknya.
Petruk lahir sebagai anak Dewa Gandarwa (bangsa jin) dengan nama Bambang Penyukilan. Sebagai seorang ksatria ia sakti dan tangguh sehingga sifat sombong selalu menyertainya. Suatu ketika ia ditantang bertempur oleh ksatria sakti lainnya, Bambang Sukati nama ksatria itu. Bambang Penyukilan meladeni tantangan tersebut dan terjadilah pertempuran hebat. Keduanya sama-sama tangguh, sehingga tidak ada yang menang. Tetapi keduanya mendapat luka yang sangat parah yang menyebabkan tubuh mereka cacat, padahal sebelumnya keduanya adalah ksatria tampan. Lalu, datanglah Kyai Semar melerai dan mengobati luka-luka mereka. Keduanya diangkat menjadi anaknya dan mengganti nama-nama mereka. Bambang Penyukilan menjadi Petruk, sedangkan Bambang Sukati menjadi Gareng.
Pandangan matanya ia alihkan ke foto Bagong. Anak bungsu kesayangannya yang saat ini membuatnya bersedih.
Kisah lahirnya Bagong dimulai ketika Kyai Semar turun ke bumi. Kyai Semar ingin mempunyai teman ketika hidup di bumi nanti, maka terciptalah Bagong dari bayangan Kyai Semar. Bagong berarti bergerak dengan mengambil gerak bayangan Kyai Semar.
Sangat beralasan bukan, kalau Bagong menjadi anak kesayangan Kyai Semar. Tetapi, sesungguhnya Bagong menjadi parasit bagi Kyai dan Nyai Semar. Bagong yang sudah berkeluarga dengan dua anak yang manis tetapi ia belum mandiri untuk menghidupi keluarganya. Sebetulnya, jika Bagong menerapkan manajemen-keluarga dengan benar ia tidak akan menjadi beban Kyai Semar.
Sikap Bagong sendiri tidak elok. Hobinya mengeluh saja, seakan hidup ini tidak adil. Ia lupa bersyukur. Padahal pangkal persoalan ada di Bagong sendiri dan Kyai Semar sudah sering menasihatinya. Siapa sih yang tidak mengenal kebijakan Kyai Semar Badranaya? Bahkan ksatria sekaliber Kresna masih mau mendengar nasihat Kyai Semar. Sementara Bagong yang nota bene anak yang paling disayang malah membuatnya bersedih di masa tuanya.
Tak tahan lagi, ia pencet ponselnya dan terhubung dengan Gareng.
“Thole… kamu di mana. Aku menunggumu segera datang di Karang Tumaritis. Aku ingin mengajakmu bicara perkara adikmu, Bagong.”
“Ada apa lagi dengan si Bagong, Pak? Dia mengeluh apa lagi? Nggak punya uang? Ah… biarkan aja pak. Orang kerjanya cuma sambat thok. Nggak ada syukurnya sama sekali. Bagong rak sudah dewasa to Pak, wis biarin mikirin nasibnya sendiri. Mestinya ia segera bangkit dari keterpurukan yang dibuatnya sendiri itu.”
“Terus jadi apa… wong Bagong itu maunya seperti priyayi, kerja nggak keringetan tapi gajinya besar.”
“Ah… itu sih adanya di dunia khayal. Mbok jadi buruh macul gitu!”
“Huss…. Bagong itu rak sarjana to ngger, masak disuruh macul.”
“Sarjana jualan bubur ya banyak. Sarjana jadi tukang sapu ya ada. Bagaimana niat dan kemauannya saja. Yang penting jangan nyolong dan ngemis. Dari pada duduk-duduk dan mengeluh lebih baik keluar rumah cari butuh to Pak?”
“Iyo..iyo… Aku kemarin juga menasihatinya begitu. Tapi gengsinya Bagong itu yang nggak nguwati.”
“Nekjika nggak mau berkeringat ya nglalu wae!”
“Thole… jangan ngomong begitu. Masak solusinya suruh bunuh diri. Piye to?”
Ponsel ditutup dan Kyai Semar makin bersedih. Petruk menjadi satu-satunya harapan Kyai semar. Tetapi, sudah puluhan kali Kyai Semar menghubungi ponsel Petruk tidak pernah tersambung, sedangkan telepon rumahnya tiada yang mengangkatnya. Kyai Semar tidak tahu kalau Petruk sekarang sudah jadi seorang presiden raja.
Sesungguhnya, kunci masalahnya ada di Bagong pribadi. Jika Bagong mau mengubah sikap buruknya, lambat-laun persoalan hidupnya terselesaikan.
Dan konyolnya, di kamarnya Bagong sedang tertawa-tawa membaca pesan-pesan di tembok buku-wajahnya. Ia selalu tidak peka terhadap perasaan Kyai Semar dan kedua kakak lelakinya.