Bukan karena keimanan Usman yang sungguh-sungguh itu saja yang mendorongnya mengumpulkan orang untuk menyeragamkan bacaan Quran, dan membakar mushaf-mushaf yang lain selain Mushaf Usman. Ketika itu Huzaifah bin al-Yaman bersama pasukan Muslimin yang lain terlibat dalam perang di Armenia dan di Azerbaijan, pada tahun kedua atau ketiga kekhalifahan Usman. Dalam perang itu terdapat banyak orang Syam yang membaca menurut bacaan Miqdad bin Aswad dan Abu ad-Darda’, jemaah Irak membacanya menurut bacaan Ibn Mas’ud dan Abu Musa al-Asy’ari. Dalam mengutamakan pilihan bacaan itu sebagian mereka ada yang sudah melampaui batas sehingga timbul perselisihan yang membuat mereka tercerai-berai, makin lama makin menjadi-jadi, sehingga yang seorang berkata kepada yang lain: Bacaan saya lebih baik dari bacaanmu. Perselisihan itu sudah mencapai puncaknya, hampir saja menjadi keributan. Mereka berselisih dan sling menuduh, saling melaknat, yang satu mengafirkan dan yang lain menganggap diri benar.
Melihat perselisihan mereka dengan saling mengeluarkan kata-kata kotor serupa itu, Huzaifah cepat-cepat pulang ke Medinah dan langsung menemui Usman sebelum pulang ke rumahnya, dengan mengatakan: “Cepat selamatkan umat ini sebelum menemui kehancuran!”
“Mengenai apa?” tanya Usman.
“Mengenai Kitabullah,” kata Huzaifah lagi. “Saya mengikuti ekspedisi itu dan bersama-sama dengan mereka yang dari Irak, Syam dan Hijaz.” Kemudian ia menceritakan kejadian di atas mengenai perselisihan tentang bacaan itu seraya katanya: “Saya khawatir mereka akan berselisih tentang Kitab Suci kita seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani.”
Usman melihat ini memang berbahaya. Ia mengumpulkan beberapa orang untuk membicarakan masalah ini. Menjawab pertanyaan mereka tentang pendapatnya ia berkata: “Menurut hemat saya orang harus sepakat dengan hanya ada satu macam bacaan. Kalau sekarang kita berselisih, maka perselisihan generasi sesudah kita akan lebih parah lagi.”
Kalangan pemikir menyetujui pendapatnya itu. Kemudian ia mengutus orang kepada Hafsah dengan permintaan agar mengirimkan Mushaf yang di tangan Abu Bakr untuk disalin ke dalam beberapa mushaf.
Demikian terjadinya pertama kali pengumpulan Mushaf Usman dan penyeragamannya dalam bacaan Quran. Soalnya karena Mushaf Abu Bakr semasa hidupnya ada di tangan Abu Bakr, kemudian di tangan Umar, setelah itu ada pada Ummulmukminin Hafsah binti Umar.
Mushaf Usman
Usman memerintahkan kepada Zaid bin Sabit al-Ansari untuk menuliskan mushaf itu dan diimlakan oleh Sa’id bin As al-Umawi, dengan disaksikan oleh Abdullah bin Zubair dan Abdur-Rahman bin Haris bin Hisyam al-Makhzumi. Kepada mereka dimintanya jika ada yang mereka perselisihkan supaya ditulis menurut logat Mudar (Banu Mudar bin Nizar, salah satu kabilah Arab al-Musta’ribah tertua beberapa generasi sebelum kabilah Kuraisy), sebab Quran diturunkan kepada orang dari Mudar. Setelah penulisan itu selesai didasarkan pada satu macam bacaan, Usman memerintahkan untuk menuliskan satu mushaf untuk Syam, satu mushaf untuk Mesir, satu mushaf dikirimkan ke Basrah, satu mushaf untuk Kufah, untuk Mekah dikirim satu mushaf dan untuk Yaman juga satu mushaf. Satu mushaf ditinggalkan di Medinah. Umat sudah puas dengan semua mushaf ini, dan orang menamakan Mushaf Usman, sebab ditulis atas peintah Usman, kendati tidak ditulis dengan tangannya sendiri.
Sesudah mushaf-mushaf itu dikirimkan ke kota-kota tadi dan Khalifah mewajibkan supaya bacaan itu yang dipakai, ia memerintahkan mushaf-mushaf yang lain dikumpulkan dan dibakar.
Atas tindakan Usman itu banyak orang yang marah, di antaranya beberapa orang sahabat dan tabi’in. Mereka mengecam Usman karena dia mengerjakan yang tidak dilakukan oleh Abu Bakr dan Umar. Mengenai Ibn Mas’ud ada disebutkan bahwa dia merasa tersinggung sekali karena mushaf yang diambil dari dia itu dibakar. Dia mengatakan bahwa dia lebih dulu dari Zaid bin Sabit dalam Islam. Dia meminta sahabat-sahabatnya mempertahankan mushaf-mushaf mereka, dengan membaca firman Allah:
“Barang siapa berkhianat, pada hari kiamat ia datang dengan hasil pengkhianatannya.” (QS 3:161)
Usman menulis surat kepadanya, dengan mengajaknya mengikuti sahabat-sahabat yang lain yang sudah sama-sama menyetujui demi kebaikan bersama dan menghindari perselisihan.
Tidak perlu diragukan apa yang sudah dilakukan Usman supaya bacaan Quran seragam, merupakan kebijakan yang luar biasa. Dengan ini Quran tetap terjaga kemurniannya sebagaimana diwahyukan Allah kepada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wassalam.
~oOo~
Kisah di atas saya kutip dari Bab 4 buku Usman bin Affan, Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan halaman 124-126, yang ditulis oleh Muhammad Husain Haekal yang diterbitkan oleh Litera AntarNusa (Cetakan kelima, 2007) setebal xvi + 154 halaman.
Pada permulaan pemerintahannya, Usman bin Affan telah berusaha sedapat mungkin mengikuti kebijakan Rasulullah dan kedua penggantinya, sesuai dengan janji yang sudah diikrarkan tatkala dilantik bahwa ia akan meneruskan kebijakan itu. Hal ini tampak jelas dalam politik perluasan yang terkadi pada masanya. Politik ini merupakan lanjutan dari politik Umar, walaupun pembangkangan dan pemberontakan yang berkecamuk di beberapa daerah telah mengharuskan Usman mengerahkan sejumlah pasukan untuk memadamkan dan menumpasnya. Begitu juga ia harus cepat-cepat mempersiapkan armada Muslimin di Syam dan di Mesir untuk memukul mundur pihak penyerang, kendati Umar telah melarang yang demikian, sebab orang Arab tak biasa di laut. Apa yang dilakukan Usman itu, dan yang serupa itu, tidak bertentangan dengan janjinya, tetapi ia dipaksa oleh keadaan. Sekiranya Umar mengalami hal yang sama, niscaya ia pun akan sependapat dengan Usman. Dalam Bab 3 buku ini, Haekal menguraikan politik Usman itu dengan segala yang dialaminya dan itu memang mendukungnya.