Saya sedang belajar pada seorang kolega yang dengan mudah dan ringannya melakukan sedekah. Orang Jawa bilang nyah-nyoh, mudah betul memberikan sesuatu kepada orang lain. Suatu ketika saya bertanya kepadanya tentang ilmu bersedekah yang ia jalankan selama ini. Ia malah tertawa, ndak pake ilmu-ilmuan katanya.
“Sampeyan pernah dengar kisah tentang koin bengkok, bukan?”
Sangat mengingat-ingat. “Ya, beberapa kali saya dengar kisah tersebut dari seorang mulut motivator, pun dengan membaca kisah tersebut dengan banyak versi.”
“Di situlah letak ilmunya. Mulanya kita ndak punya apa-apa, lalu punya dan jika ndak punya lagi pun ndak apa-apa!”
Saya rasa, Anda pun pernah mendengar atawa membaca kisah koin bengkok itu bukan? Alkisah, ada seorang lelaki yang keluar dari sebuah kantor setelah wawancara kerja. Kakinya terantuk sebuah koin dalam kondisi bengkok lalu ia memungutnya. Koin itu teryata uang logam yang sudah kuno. Bergegas ia membawa koin tersebut ke toko antik dan menjualnya. Laku sejuta rupiah.
Dalam perjalanan pulang ia bertemu dengan sahabatnya. Setelah bertegur sapa, sahabatnya itu menceritakan sedang butuh uang untuk membayar sewa rumahnya, ia tak punya uang namun punya kalung antik. Terjadi barter antara uang sejuta dengan kalung antik. Ia lalu membawa kalung tersebut ke toko antik yang ia datangi sebelumnya. Kalung tersebut dihargai lima juta rupiah. Kalau berhitung untung-rugi, lelaki tersebut untung empat juta rupiah.
Uang ia simpan di tas selempangnya. Ketika ia hampir sampai di rumah, ada dua orang menghampirinya dan memaksanya memberikan uang lima juta rupiah yang ia bawa. Ia memberikan uang tersebut. Ludes.
Sampai di rumah, ia menceritakan pengalaman hari itu kepada istrinya, tanpa ada bumbu cerita. Istrinya heran dengan sikap suaminya itu, kenapa membiarkan saja uang tersebut dirampok, tidak mempertahankan bahkan malah memberikan kepada perampoknya?
“Aku merasa tak kehilangan apa-apa,” tukas suaminya.