Bagi Anda yang seumuran dengan saya, tentu ingat pernah ada istilah Bersih Diri dan Bersih Lingkungan. Kedua istilah tersebut populer di negeri ini pada tahun 1980-an, yakni sebuah kebijakan rezim Orde Baru. Bersih Diri ditujukan kepada seseorang yang dianggap terlibat dalam Gerakan 30 September (G30S) PKI, baik sebagai anggota, simpatisan atawa anggota dari organisasi yang diduga ada hubungannya dengan PKI. Sedangkan istilah Bersih Lingkungan, diberlakukan kepada anggota keluarga yang telah distempel sebagai seorang komunis.
Aturan Bersih Diri dan Bersih Lingkungan dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri, di mana dalam peraturan ini melarang orang-orang yang tidak Bersih Diri atawa tidak Bersih Lingkungan menjadi PNS, TNI/Polri, guru atawa profesi yang dianggap bisa mempengaruhi masyarakat. Tak hanya itu, diskriminasi semacam ini tak hanya tertuju pada para mantan tahanan politik (tapol) tragedi 1965, namun juga kepada anak-cucu mereka.
Jika seseorang berminat menjadi calon pegawai seperti yang disebutkan di atas, maka ia harus siap melewati proses Litsus (Penelitian Khusus) kalau ia memang benar Bersih Diri dan Bersih Lingkungan. Secara administasi para mantan tapol di dalam KTP-nya diberi tanda/kode ET (Eks Tapol). Selain itu rezim Orde Baru juga mempopulerkan istilah “Bahaya Laten PKI.”
Syahdan, rezim Orde Baru tumbang di tahun 1998, dan lahir Orde Reformasi. Bukan reformasi total, namun reformasi setengah hati. Buktinya, orang-orang produk Orde Baru masih lestari hingga kini atawa setidaknya sifat-sifat buruknya masih terasa hingga sekarang, yakni perilaku korup. Merampok uang negara!
Hebatnya, merampok dengan cara berjamaah. Tak hanya kaum tua yang berkorupsi, namun para pemudanya juga ikut-ikutan jadi maling. Bahkan modusnya lebih canggih. Para penggiat anti korupsi mempopulerkan istilah “Bahaya Laten Korupsi.”
Sekarang memang zaman edan, seorang koruptor (ah, istilah ini terlalu santun bagi para perampok uang negara, mestinya mereka disebut sebagai maling istilah yang lebih membumi, sangat Indonesia daripada kata koruptor) malah mendapatkan dukungan moral dari tokoh-tokoh nasional. Mereka datang ke rumahnya membesarkan hatinya agar tabah dan sabar atas status tersangka yang disematkan kepadanya. Bukankah mestinya ia (sang maling uang negara itu) dikucilkan dari pergaulan, sama halnya sikap rezim Orde Baru kepada para eks tapol 1965?
Asyik kali ya, kalau aturan Bersih Diri dan Bersih Lingkungan diterapkan pada para koruptor dan keluarganya?