Dilema tinggal di RSS

Kedatangan banjir Karawang 18 Januari 2013

Kemarin, salah satu staf saya mengajukan cuti. Kalimat dalam kolom ‘keperluan cuti’ ia tulis: melakukan aksi di perumahan. Dahi saya berkerut dan mempertanyakan kepadanya apa maksud kalimat tersebut. Ia bilang, hari ini seluruh warga di perumahan tempat ia tinggal akan melakukan aksi unjuk rasa kepada pihak pengembang perumahan menuntut janjinya yang akan memperbaiki jalan dan pengadaan fasos/fasum. Dengan pertimbangan akal sehat saya teken form cutinya.

Sama seperti saya, staf saya itu tinggal di kompleks perumahan berkelas RS/RSS. Saya bisa merasakan kegalauan warga perumahan tersebut ketika fasiltas sosial dan fasilitas umum yang disediakan pihak pengembang tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan dalam brosur-brosur mereka. Hal ini tentu berbeda dengan perumahan berkelas real estate yang harganya lebih mahal meskipun dalam beberapa kasus pihak pengembang juga melakukan ingkar janji.

Pada perumahan berkelas RS/RSS, setelah pengembang menyelesaikan semua proyeknya dan menjual semua unit rumah yang ada, mereka akan menyerahkan ke pemerintah daerah untuk ‘dikelola’ sebagai aset pemerintah daerah setempat. Tapi sungguh bukan perkara yang gampang menyerahkan pengelolaan tersebut. Bagi pengembang kelas teri, akan lebih baik kabur atawa membubarkan perusahaannya. Siapa yang dirugikan? Tentu saja para penghuni perumahan tersebut.

Untuk kasus di perumahan staf saya tersebut, pihak pengembang masih ada karena mereka masih mengembangkan areal perumahan. Kantor pengelola dan pemasaran masih bercokol di sana, sehingga warga tahu dengan jelas ke mana harus mengadu.

Nekjika menyadari sesungguhnya hal itu konsekuensi logis tinggal di perumahan berkelas RS/RSS. Saya yang tinggal belasan tahun di perumahan kelas ini menerima dengan lapang dada saja. Wong memang demikian keadaannya. Semua pengelolaan perumahan dilakukan secara swadaya yang dikoordinir oleh pengurus RT atawa RW, mulai pengelolaan sampah, keamanan, termasuk perbaikan fasos/fasumnya (tempat ibadah, jalan, balai RW, dan sebagainya). Saban bulan petugas RT mengambil iuran yang besarnya ditentukan dalam rapat warga. Hal ini tentu sangat berbeda dengan perumahan kelas wahid di mana penghuninya ditarik maintenance fee atawa service charge. semua dikelola secara profesional oleh pihak pengembang. Warga mendapatkan pelayanan prima dari segi kenyamanan dan keamanan.

Saya masih cukup beruntung tinggal di perumahan yang sekarang ini. Jalan-jalan di perumahan mulus, sebagian aspal sebagian berupa beton. Semua atas biaya pemerintah. Anggaran turun untuk perbaikan jalan ruas per ruas. Kok bisa? Soalnya ada beberapa penghuni yang mempunyai kemudahan akses ke pemerintah daerah, mereka adalah PNS pada dinas yang memang mengurusi infrastruktur daerah, anggota dewan yang terhormat dan tangan kanan Kanjeng Adipati. Meskipun mereka tak berdaya terhadap kedatangan banjir masuk kompleks perumahan kami.