Hejo dan Coki berantem lagi

Pada jaman dahulu, Ibu Pertiwi mempunyai sepasang anak kembar. Ia memperlakukan kedua anaknya tersebut seadil mungkin, meskipun untuk membedakan di antara keduanya hanya pada warna baju yang mereka kenakan: hijau dan coklat. Masing-masing mereka sebut saja  namanya si Hejo dan si Coki.

Waktu itu, mereka sangat rukun dan sejahtera. Hidup berdampingan mesra, saling membantu. Meskipun kadangkala Hejo merasa lebih superior dibandingkan dengan Coki. Apalagi dalam kehidupan sehari-harinya Hejo banyak membantu Coki. Dari segi penampilan pun, Hejo lebih keren, tubuhnya lebih atletis. Nggak seperti Coki, yang perutnya gendut.

Hebatnya Ibu Pertiwi, mereka diberikan ladang bisnis yang dapat mereka kelola. Terserah saja yang penting tugas utama mereka – yang menjaga Ibu Pertiwi, tidak terabaikan. Hmm, mereka makmur dengan bisnis yang mereka geluti itu. Semua hepi. Hip… hip… hura!

Syahdan, Ibu Pertiwi didera kesedihan mendalam ketika anak-anaknya yang lain merengek-rengek minta dilakukan reformasi di rumah tangga mereka. Tak hanya merengek, mereka juga mengamuk hingga Ibu Pertiwi menangis bahkan keluar air mata darah. Mengerikan. Salah satu akibat dari insiden reformasi, Ibu Pertiwi dituntut memisahkan anak kembar. Hejo dan Coki berdiri berseberangan.

~oOo~

Itulah sepenggal dongeng yang diceritakan Bapak kepadaku beberapa waktu yang lalu, ketika aku menyampaikan keinginan untuk menjadi tentara.

“Jadilah tentara atawa polisi yang profesional!” pesan Bapak, meskipun aku tak ada keinginan menjadi polisi.

“Masih adakah tentara atawa polisi yang seperti Bapak sebut itu?” sergahku.

“O, masih sangat banyak nak. Tentara dan polisi yang berperilaku buruk jumlahnya hanya seupil saja kok. Percayalah pada omongan Bapakmu ini!” kata Bapak.

Sungguh, aku tak begitu mudah percaya ujaran Bapak itu. Peristiwa bentrok tentara-polisi yang kerap terjadi bukankah itu bentrok antara institusi, bukan antar pribadi? Faktor ekonomi kah? Tapi embuhlah. Bentrok mereka sangat berbahaya karena masing-masing pihak punya senjata.

“Bapak, aku sering lihat tentara yang masih pakai seragam berkeliaran keluar barak. Dengar-dengar mereka cari obyekan. Kebanyakan mereka jadi centeng. Bukankah ini nggak benar, melanggar disiplin prajurit?” kataku.

“Makanya, nanti jadilah tentara yang profesional!” ujar Bapak.

“Iya, tapi kalau gajinya kecil apa bisa bertindak profesional. Berapa banyak prajurit yang nyambi jadi sopir angkot atawa tukang ojek, demi dapurnya supaya tetap ngebul? Persenjataan tentara yang kuno dan kalah dari negara lain mosok bisa profesional?” aku mencoba berargumen.

Bapak diam. Beliau seorang pensiunan Kopral Satu, kini mengisi waktunya dengan berjualan bensin eceran, matanya menerawang ke mendungnya langit.

Di sebelah kios bensin Bapak ada lapak koran. Aku melirik berita-berita yang tersaji di sana: para pembesar polisi terlibat korupsi.

Dan aku mencoba mencerna kata-kata Bapak bahwa masih sangat banyak tentara dan polisi yang baik, yang mempunyai dedikasi dan integritas yang tinggi.