Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan

Makkah, 610 Masehi

Ketukan keras di pintu. Mendera-dera. Khadijah, perempuan yang dimuliakan itu, yakin siapa yang ada di sebaliknya. Dirimu. Hanya saja, Khadijah tak mengerti mengapa ketukan di pintu harus sekuat itu. Ada apa dengan belahan jiwaku?

Merapikan lembar kain yang menutupi sebagian rambut, Khadijah bangkit dari duduknya. Dia menyiapkan ekspresi terbaik untuk menyambut kedatanganmu. Meyakinkan diri tidak ada yang salah dengan penampilannya. Penampilan seorang perempuan yang telah melewati usia setengah abad, tetapi masih memancarkan keagungan pada wajah dan seluruh sosoknya. Matanya masih jeli, kulit wajahnya berseri, bentuk dan gerak tubuhnya terjaga.

Khadijah menghampiri pintu dengan perasaan was-was. Perasaan tak keruan yang berlipat ganda ketika dia melihat dirimu berdiri dengan cara yang tidak biasa persis di hadapannya. Apakah Khadijah merasakan, wajahmu yang empatik dan selalu membuat jatuh cinta, menjadi pucat dan nyaris kehilangan cahaya? Apakah Khadijah berpikir, tubuh gagahmu menjadi menggigil seperti baru saja diguyur hujan paling deras sepanjang tahun?

Apa yang terjadi kepadamu, wahai Lelaki yang Terjaga dari Dosa? Engkau memburu dipan yang di sana dirimu biasa menikmati tidurmu yang sedikit. Khadijah mengikuti langkahmu tanpa suara.

“Selimuti aku! Selimuti aku!” katamu. Apakah engkau tengah merasakan kegalauan yang tak terperi? Khadijah sigap menarik selimut yang dia harapkan mampu sedikit mengurangi apa pun yang mengganggu perasaanmu. Engkau merebahkan kepalamu ke pangkuan Khadijah. Apakah perempuan suci itu merasakan, sungguh beban luar biasa tengah menghantam jiwa suaminya? Khadijah mengerti itu, meski dia belum tahu cerita apa yang ada di sebaliknya.

“Apakah aku sudah menjadi seorang kahin (orang yang berurusan dengan pertenungan dan jin), Khadijah?”

Engkau  menatap Khadijah. Pandanganmu bertemu dalam posisi yang romantis. Setidaknya dalam ketidaktentuan yang begini menghunjam, engkau masih memiliki Khadijah, istri yang begitu melengkapi. Sekarang, apakah engkau berpikir, nasibmu telah menyamakan dirimu dengan seorang kahin? Kejadian di Gua Hira’, tempatmu menyepi, apakah tidak memberikan kemungkinan lain? Bukankah ketika itu, engkau merasakan kehadiran suatu makhluk yang nyaris tak terdefinisikan, kecuali dia terlihat seperti bersayap?

“Bacalah!” kata makhluk yang terlihat juga menyerupai manusia itu.

“Aku tidak bisa membaca,” jawabmu sejujur-jujurnya. Seperti kebanyakan orang Makkah, engkau memang tidak terbiasa membaca. Lagi pula, tidak ada benda apa pun untuk dibaca. Tidak ada lembar papirus atau batu bertulis. Membaca apa?

Makhluk itu lantas mendekapmu dengan pelukan yang keras. Sesuatu yang membuatmu begitu sulit bernapas. Pelukan itu mereda kemudian, “Bacalah!”

Engkau belum mengerti, “Aku tidak dapat membaca.”

Berulang, sosok itu meraihmu ke dalam dekapannya hingga sempit napasmu sesak jadinya. “Bacalah!” katanya sekali lagi setelah melepaskan dekapan yang menyakitkan.

Engkau menggeleng. Apakah engkau mulai merasakan ketakutan di dadamu? “Aku tidak bisa membaca.”

Kali kesekian, sosok itu memelukmu dengan cara yang sama, kemudian melepaskanmu dengan cara yang sama pula. Dia lalu berkata tanpa jeda.

“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan! Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Engkau kali ini tidak sanggup menolak kecuali melafalkan kata-kata itu mengikuti kehendak makhluk yang tidak engkau kenal. Bukan membaca, tetapi melafalkan kalimat yang dimulai dari kata perintah “bacalah!”

Kata-kata itu seperti menghunjam ke dadamu. Apakah itu terasa begitu menyakitkan dan menakutkan? Apakah itu yang membuatmu mulai berpikir engkau bernasib sama dengan para penyair yang terilhami oleh jin? Setelah mengucapkan serangkaian kalimat itu, engkau buru-buru meninggalkan sosok yang membuatmu gemetaran itu.

Berlari ke luar gua, menuruni tebing dengan tergesa-gesa.

“Wahai Muhammad! Engkau utusan Allah dan aku Jibril!”

Engkau menengadah. Apakah ini benar atau ilusi? Bukankah engkau merasa melihat sosok di gua tadi, kini telah membentangi angkasa? Sesuatu yang terlihat seperti sayap.

“Wahai Muhammad! Engkau Rasulullah dan Aku Jibril!”

~oOo~

Artikel di atas saya kutip dari Perempuan Suci, salah satu bab dalam buku Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan halaman 92 – 94. Novel biografi Muhammad SAW setebal 543 halaman ini ditulis oleh Tasaro GK diterbitkan oleh Bentang Pustaka (Maret 2010).