Mogok seks

Mogok makan untuk menuntut sesuatu hak sudah sering kita dengar. Mogok kerja, apalagi. Tak kenal apa itu pegawai swasta atawa pegawai negeri, mogok kerja dilakukan untuk memprotes sesuatu yang dianggap tidak adil atawa membela suatu kepentingan tertentu.

Membaca berita internasional minggu lalu di media online atawa di koran ada kegiatan mogok yang menurut saya sangat unik dan nyleneh, yakni mogok seks. Peristiwa ini terjadi di Togo, sebuah negara mini di tlatah Afrika Barat. Mogok seks dilakukan oleh para perempuan negara tersebut, bukan untuk memprotes para suami, namun bertujuan untuk menggoyang kekuasaan diktator Presiden Faure Gnassingbe.

Adalah Let’s Save Togo, kelompok koalisi oposisi yang menggabungkan tujuh parpol oposisi dan sembilan ormas yang menyerukan untuk mogok berhubungan seks selama sepekan. Latar belakang memilih mogok seks ini salah satunya dipicu karena kaum perempuan Togo menjadi korban utama pada setiap kekacauan di Togo. Para oposan yakin protes dengan cara mogok seks ini melahirkan hasil, pasalnya terbukti pemerintah melepaskan 119 demonstran yang ditahan saat aksi demo sebulan terakhir.

Mengutip Majalah Tempo edisi 3 September 2012, mogok seks sebagai alat politik tercatat pernah sukses di beberapa negara. Aktivis Togo mengaku terinspirasi aksi serupa dari Liberia pada 2002. Saat itu, aksi mogok gabungan perempuan Islam dan Kristen berhasil mendorong penyelesaian konflik sipil. Di Kenya, mogok seks mendorong perdamaian dua penguasa yang berseteru. Tahun lalu, mogok seks menjadi simbol gerakan antiperang para istri di Mindanao, Filipina. Rencana pertempuran di Mindanao pun batal. Untuk tuntutan lebih kecil, tahun lalu juga, sebagian wanita di Barbacoas, Kolombia, mogok seks agar dilakukan pengaspalan jalan ke ibu kota provinsi. Tuntutan dipenuhi setelah mogok selama 3 bulan 19 hari.

Mana tahan… eh, tahan mana?

Mari kita analisa kenapa mogok seks (yang dilakukan oleh para perempuan itu) mempunyai kekuatan dahsyat yang bisa menaklukkan lawan. Analisanya menggunakan “the gathuk theory” saja ya?

Kata kunci keberhasilan aksi mogok seks adalah mana tahan atawa tahan mana. Menyitir pendapat para pakar seks, perempuan jauh lebih bisa menahan gejolak hasrat untuk ngeseks dibandingkan para lelaki. Logikanya di mana, wong yang demo mogok seks itu para perempuan, tapi bisa memenangkan sebuah gugatan? Bukankah para istri pengambil kebijakan nggak ikut mogok seks?

Para suami para pemogok seks itulah yang ditakutkan oleh pengambil kebijakan. Lelaki yang sedang dalam puncak ingin ngeseks dan nggak tersalurkan, maka pikirannya akan kacau, uring-uringan dan akibat fatalnya bisa ngamuk. Ingat, sebagian besar lelaki (yang telah punya pasangan) adalah anggota ISTI – Ikatan Suami Takluk Istri – yang nggak berani protes terhadap demo seks yang dilakukan para istri mereka. Satu-satunya tujuan pelampiasan adalah kepada penyebab kenapa para istri melakukan demo seks.

Sebagai pemegang teraju pemerintahan Togo, Presiden Faure Gnassingbe mungkin gentar dikudeta oleh kekuatan para suami yang birahinya sedang di ubun-ubun, maka ia mengabulkan tuntutan para demonstran.