Tiga hari ini, televisi nasional silih berganti menayangkan peristiwa berdesak-desaknya antrean daging kurban. Ada jatuh korban, seperti biasanya. Meskipun kali ini tidak sampai merenggut nyawa. Kita yang menyaksikan peristiwa tersebut merasakan miris di hati.
Banyak petugas yang mengatur antrean tidak serta merta membuat tertib pembagian daging kurban. Adegan saling serobot kupon atau daging kurban, sepertinya sudah menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat untuk meminta sesuatu, di mana harkat sebagai fakir miskin dan peminta-minta bukan menjadi sesuatu yang aib lagi. Kejadian ini terjadi di mana-mana. Tidak hanya ketika pembagian daging kurban, tetapi juga ketika ada pembagian sedekah oleh orang kaya atau pembagian BLT oleh pemerintah beberapa waktu yang lalu.
Keadaan ini membuat masyarakat umum semakin yakin bahwa perbuatan saling berebut barang gratisan merupakan hal yang sangat lazim, seperti saling berebut menyandang status sebagai warga miskin. Wong jadi warga miskin kok bangga!
Manajemen pembagian daging kurban harus diubah dengan cara mendatangi langsung kantong-kantong kemiskinan, sekaligus memberikan pembelajaran bahwa memberi itu jauh lebih mulia dari pada menerima. Dengan cara seperti ini lebih tepat sasaran, keluarga fakir miskin, bukan orang yang berpenampilan seolah-olah miskin. Kalau memungkinkan, selain daging juga diberikan seperangkat bumbu untuk memasaknya sehingga daging tersebut nantinya dapat langsung dimasak dan dinikmati sekeluarga, bukannya dijual kepada para penadah daging dengan harga miring.
Serba repot memang, dikasih gratis malah dijual. Kere-aktif beneerrr!