Merindu Jonggrang

Selasa, 30 Desember 2014

Sepulang dari kunjungan saya ke Pantai Pok Tunggal – Tepus Wonosari saya mampir ke Candi Boko yang kebetulan ada di sisi kiri jalan jalur Piyungan-Prambanan. Sampai di Kompleks Candi Boko senja sudah mulai turun. Temaramnya makin sempurna karena mendung menggelayut di langit di atas Candi Boko.

Saya tak bisa menikmati sunset yang saya lihat dari halaman Boko Sunset Resto. Dari tempat ini saya bisa melihat panorama alam dengan latar Gunung Merapi dan Candi Prambanan yang terlihat jelas. Jika tak mendung, srengenge angslup dapat terlihat dengan sempurna dari tempat ini.

Saya menyaksikan dengan takjub lukisan Tuhan di senjakala. Kamera saya arahkan ke objek yang menurut saya menarik untuk diabadikan. Tanpa sengaja kamera saya mengarah pada seorang lelaki muda tengah memandang ke arah Candi Prambanan. Sebuah siluet yang indah. Ketika saya akan mengambil gambarnya, ia menoleh ke saya dan memberi tanda keberatan jika ia menjadi objek foto.

“Akhirnya Kisanak ke sini juga. Saya sudah lama menunggu kedatangan Kisanak!” sapa lelaki muda itu mengejutkan saya.

Ia mengulurkan tangan untuk berjabat. Dengan ragu saya ulurkan tangan juga dan kami pun berjabat tangan.

“Saya Rakai Pikatan, Kyaine,” ia memperkenalkan diri.

“Kok sampeyan tahu nama saya? Rakai Pikatan? Apa saya tidak salah dengar?” tanya saya keheranan.

“Tentu saja saya mengenal Kisanak, yang beberapa waktu lalu bertemu dengan Jonggrang, perempuan yang sangat saya cintai,” jawab Rakai Pikatan yang matanya tak lepas dari pandangan ke arah Candi Prambanan.

“Sebentar, apakah Rakai Pikatan itu nama lain dari Bandung Bondowoso alias Mpu Manuku?” rasa penasaran saya selama ini mudah-mudahan terjawab setelah bertemu dengannya.

Lelaki itu tersenyum dan dengan pelan menganggukkan kepalanya. Menurut saya hanya ada sedikit orang yang mengetahui kalau Rakai Pikatan dan Bandung Bondowoso ini orang yang sama.

“Saya sangat merindukan Jonggrang, Kyaine. Itulah kenapa setelah saya membangun seribu candi saya bersembunyi di reruntuhan istana Raja Boko ini. Dari tempat ini saban senja hari saya memandangi Candi Prambanan sambil berharap kedatangan Jonggrang,” ungkap Rakai Pikatan.

Saya memaklumi alasan Rakai Pikatan menunggu Jonggrang di tempat ini sebab di Kerajaan Boko ini dahulu Jonggrang tinggal. Reruntuhan keraton Raja Boko akibat serangan Bandung Bondowoso dari Kerajaan Pengging. Raja Boko – ayah Jonggrang – sendiri tewas di tangan Bandung Bandowoso.

“Saya berharap penantianmu ndak sia-sia. Kalau sudah jodoh, Jonggrang akan menjadi istrimu,” kata saya menghiburnya.

“Apa yang Jonggrang katakan tempo hari, Kyaine?” tanya Mpu Manuku penasaran.

“Ia juga sangat merindukan dirimu. Bahkan cintanya hanya padamu seorang,” jawab saya seperti comblang profesional.

“Bantu saya bertemu dengannya, Kyaine!” katanya berbinar.

Saya bingung bagaimana mempertemukan Bandung Bondowoso dan Jonggrang. Dalam pelajaran sejarah yang pernah saya baca, memang kelak Rakai Pikatan akan berjodoh dengan Pramodawardhani yang tak lain adalah Rara Jonggrang.

“Kyaine, pripun?” rajuknya.

Ntar tak pikir karo mlaku!” jawab saya.