Saban pagi dan petang hari aku punya waktu bersama anak perempuanku, setidaknya satu jam di masing-masing kesempatan, saat berangkat dan pulang bekerja. Lokasi tempat kerjanya tiga blok lebih jauh dari tempatku bekerja, sehingga aku mesti mengantarnya terlebih dulu, baru aku balik arah menuju tempat kerjaku.
Karena tempat kami bekerja merupakan kompleks kawasan industri, kami berangkat kerja serentak dengan karyawan lain. Ada ribuan motor dan ratusan mobil bergerak ke arah yang sama. Sebagian di antara kami dan mereka, tengah mencari atau bahkan menjemput rejekinya masing-masing.
“Kalau kita ini sedang mencari atau menjemput rejeki sih, pak?” tanya anak perempuanku suatu ketika.
“Ilustrasinya akan bapak ambil dari penggalan kisah di novel The Kite Runner karya Khaled Hossaeini. Kamu pernah membacanya, bukan?” aku bertanya balik.
Ia mengiyakan. “Persahabatan antara Amir dan Hassan, dua bocah yang berasal dari Afganistan”.
“Sayangnya, bapakmu ini belum pernah mengajakmu bermain layang-layang dalam arti bertanding memutuskan benang lawan. Aturan main layang-layang sangat sederhana, terbangkan saja layang-layangmu dan putuskan benang lawanmu. Mudah-mudahan kamu beruntung.”
“Anak-anak yang tidak main layang-layang pun bisa menang kan pak?” katanya berseri-seri karena ia tahu arah pembicaraan kami.
“Keasyikan justru dimulai ketika sebuah layang-layang terputus benangnya. Saat itulah pengejar layang-layang beraksi. Anak-anak akan mengejar layang-layang yang diterbangkan angin ke daerah permukiman hingga akhirnya layang-layang itu berputar turun dan jatuh di lapangan, di halaman seseorang, tersangkut di pohon, atau di atap rumah. Saat mereka mengejar layang-layang, keadaan menjadi agak brutal, rombongan pengejar layang-layang akan saling mendorong dan menjatuhkan temannya. Atau jika layang-layang itu tersangkut di pohon, mereka berlomba memanjat pohon. Karena banyak anak yang berada di pohon, dahannya patah dan mereka jatuh berdebam ke tanah sebelum mendapatkan layang-layang di ujung ranting yang lain. Bagi para pengejar layang-layang, hadiah yang paling berharga adalah mendapatkan layang-layang tersebut meskipun layang-layang itu sudah sobek.”
Anakku tersenyum.
“Yeah, aku ingat kisah itu. Dan Amir mengagumi Hassan yang punya cara sendiri untuk mendapatkan layang-layang putus tersebut.”
“Benar, anakku. Hassan mengamati arah angin yang membawa layang-layang itu bergerak. Ia memisahkan diri dari anak-anak pengejar layang-layang. Bahkan Hassan tahu di mana ia akan menjemput layang-layang itu.”
“Amir menemukan Hassan duduk bersila di bawah pohon sambil memakan buah murbei kering yang ada di dalam genggamannya. Tidak ada rona kelelahan di wajah Hassan. Dan tak lama kemudian, layang-layang jatuh di dekat kakinya. Itulah layang-layang yang dikejar-kejar oleh teman-teman sebayanya.”
“Sebentar lagi bapakmu ini pensiun. Bapak akan menjemput rejeki di tempat dan waktu yang lain pula. Pekerjaan menjemput itu ilmunya cuma satu. Sabar dan ikhlas. Kalau yang dijemput datangnya terlambat, mesti sabar. Kalau dapatnya sedikit, mesti ikhlas.”
Tidak terasa, kami telah sampai di depan gerbang sebuah pabrik tempat anak perempuanku menjemput rejekinya.