Menjaga generasi

“Ayah, tolong ceritakan kisah Salman al Farisi,” pinta seorang anak lelaki kepada ayahnya.

Sang ayah tersenyum mendengar permintaan anaknya. Ini bukan kali pertama. Sudah berulang kali ia mendengar kisah Salman al Farisi dari mulut ayahnya. Kenapa? Anak lelaki yang masih duduk di bangku SD itu sangat bangga dengan nama pemberian ayahnya: Salman al Farisi.

Tiada bosan juga sang ayah menceritakan kisah Salman, pemuda yang berasal dari Persia yang berkelana mencari kebenaran Illahi, yang akhirnya ia menemukan cahaya Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW.

 “Kanjeng Nabi dengan penuh perhatian menyimak proposal yang diajukan Salman al Farisi untuk melindungi Kota Madinah dari serangan kaum kafir. Salman mengusulkan kepada Kanjeng Nabi membuat parit yang mengelilingi Kota Madinah. Salman menjelaskan idenya dengan mengambarkan di tanah di hadapannya sehingga para sahabat di sekeliling Kanjeng Nabi bisa memahami maksudnya. Gagasan brilian Salman disetujui oleh Kanjeng Nabi. Dengan cara bergotong-royong, kaum muslimin menggali parit tiada merasa lelah. Kanjeng Nabi tidak tinggal diam, juga ikut menggali tanah bahkan memecah bebatuan yang terpendam di sana. Atas kehendak Gusti Allah, kaum kafir tidak dapat menembus Kota Madinah bahkan kocar-kacir oleh datangnya angin lesus yang memporak-porandakan pasukan kaum kafir.”

Pada sesi inilah sang ayah memperagakan aksi corat-coret di atas kertas, bergaya seperti Salman yang menyusun strategi Perang Khandaq yang sangat masyhur itu.

“Aku ingin seperti Salman al Farisi itu, ayah,” kata anak lelaki itu. Sang ayah tersenyum dan mengelus rambut anak keduanya itu. “Ya, itulah kenapa ayah menamaimu Salman al Farisi, nak.”

Sementara di dapur, ibu dan anak pertamanya sedang sibuk mempersiapkan makan malam untuk keluarga bahagia itu. Hmm… gulai ayam kampung aroma sedapnya telah memenuhi ruang keluarga.

“Aku ingin seperti ibu yang pandai memasak,” kata anak pertama.

Sang ibu tersenyum mendengar ucapan anak perempuannya itu, lalu berujar, “Kamu tidak ingin pintar masak seperti Farah Quinn atawa Ibu Siska, misalnya?”

“Tidak. Seperti ibu saja. Masakan ibu disukai oleh ayah, adik dan aku sendiri. Nanti, masakanku pun inginnya seperti itu. Suami dan anak-anakku suka dengan apa yang aku sajikan,” jawab putrinya. Mereka terkikik.

Sang ayah dan anak lelakinya menghampiri meja makan, begitu dipanggil oleh ibu. Santap makan malam sudah tersaji dengan lengkap.

“Sekarang giliranmu memimpin doa, kami akan mengamini!” kata ayah kepada anak lelakinya.

“Allahumma baarik llanaa fiima razaqtanaa waqinaa adzaa ban-naar”
Ya Allah, berkatilah rezeki yang engkau berikan kepada kami dan peliharalah kami dari siksa api neraka

“Doa tadi akan memberikan berkah pada makanan kita sekaligus membuat kenyang perut kita,” ujar sang ayah sambil mengambil nasi. Dan seperti biasanya, di meja makan itu mereka saling bercengkerama dan menyusun masa depan.

“Jadi rencanamu mau ambil jurusan apa, Kak?” tanya ibu kepada anak perempuannya yang kemarin telah menyelesaikan ujian nasional SMA-nya.

Kehidupan itu dinamis dan harus bergerak maju. Hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan esok harus lebih baik dari hari ini. Generasi sebuah keluarga terus tumbuh dan berkembang. Kewajiban ayah dan ibu untuk menjaga dan merawat generasinya itu agar lebih baik daripada mereka dulu.

“Kalau nggak ekonomi… ya teknik lah..,” jawab anaknya, santai.

“Kalau aku nanti mau kuliah insinyur saja, Kak. Biar hebat seperti Salman al Farisi!” tukas adiknya.

Semua tertawa. Bahagia.