Setidaknya, sudah tiga Ramadhan ini saya memutuskan diri menjadi makhluk anti-sosial dalam hal menghadiri undangan bukber (buka bersama). Nekjika ada undangan bukber saya akan mengatakan maaf tak bisa ikutan acara tersebut.
Kenapa?
Sebagai pekerja kantoran yang punya ritme kerja sangat ketat, berkumpul dengan teman-teman di akhir pekan kadang menjadi suatu keniscayaan. Supaya kumpulan tersebut tidak kecut karena kebanyakan ngobrol maka dipilihlah berkumpul di rumah makan lesehan, duduk santai, ngobrol ngalor-ngidul di luar masalah pekerjaan, disambi makan atawa minum. Cara refreshing yang nyampleng. Pada bulan puasa, berkumpul dengan kawan-kawan tetap dilakukan (meskipun hanya sekali-dua dalam sebulan). Pada saat seperti itu, rumah makan akan sangat ramai, riuh, dan kalau nggak pesan tempat dan menu jauh sebelumnya bakalan kehabisan atawa kudu antri. Kadang, sudah pesan saja pelayanannya masih saja terlambat.
Bayangkan, pelayan rumah makan yang juga sedang berpuasa itu, mungkin ketika azan terdengar cuma minum saja, lalu mereka mengangkat baki yang penuh makanan dan minuman dari meja ke meja. Bolak-balik. Betapa capeknya mereka. Mereka baru beristihat ketika para tamu pulang, dan saat itu mereka baru betul-betul menikmati makanan berbukanya. Ketika meja saya masih belum tersaji makanan/minuman yang dipesan, saya mengangkat kaki menuju mushola untuk shalat maghrib dulu. Namun apa yang terjadi? Mushola penuh. Menunggu lagi, sementara tenggorokan waktunya dibasahi dengan minuman yang segar. Betul-betul kondisi yang tidak nyaman. Nanti ketika kembali ke tempat lesehan, makanan sudah tersaji, satu-dua teman sedang menikmati makanan (yang lain shalat maghrib) sehingga suasana nggak gayeng lagi. Selesai makan selepas isya. Dapat dipastikan nggak bisa ikutan tarawih di masjid dekat rumah karena telat.
Undangan bukber kadang masuk ke dalam agenda rapat. Lagi-lagi tempatnya di rumah makan. Suasananya agak berbeda dengan deskripsi di atas, karena makanan sudah tersaji sebelumnya. Namun situasi yang sama adalah telat shalat maghrib karena antri mushola. Jika agenda rapat tersebut sangat penting, saya akan tetap datang, dan pulang sebelum acara selesai.
Pun dengan acara bukber yang lain.
Apakah kalau di rumah saya makanan lebih mewah dari pada di tempat bukber, sehingga saya menghindari bukber? Nggak juga. Menunya sama seperti makanan sehari-sehari, toh belinya juga di warung yang itu-itu juga. Hanya saja ada istimewanya: shalat maghrib tepat waktu, makan malam bisa dilakukan di tempat tidur sambil lihat sinetron Para Pencari Tuhan, bisa nyante sejenak sebelum mandi. Setelah rapi dan wangi pergi ke mesjid belakang rumah untuk tarawih berjamaah.
Hanya itu saja alasan saya.