Jamban

Waktu itu Indonesia sudah merdeka, mungkin ber-HUT ke 35-an gitu. Namun, masyarakat desa saya belum begitu sadar arti pentingnya jamban keluarga.  Mereka – termasuk saya tentu saja, lebih suka merendam pantat di sungai. Berhajat tanpa merendam pantat rasanya kurang afdol. Kalau pagi (menjelang terang tanah), sungai yang membelah desa saya menjadi jamban deret yang sangat panjang. Masing-masing orang sudah punya tempat tongkrongan yang nyaman, biasanya memanfaatkan batu sungai yang berbentuk datar yang enak untuk pijakan kedua kaki.

Meskipun para kader penggerak PKK sudah ceramah berbusa-busa tentang arti pentingnya jamban keluarga, tetap saja kami berjamban di pinggir sungai. Kebiasaan berjamban di sungai mulai hilang ketika salah satu warga kakinya digigit ular saat pagi-pagi buta bermaksud merendam pantat. Satu-dua orang mulai mengikuti gaya hidup modern orang berpunya. Mereka membikin jamban bertipe jumbleng. Tanah digali berbentuk persegi, di atasnya ditutup dengan cor semen atawa bagi yang tak punya biaya ditutup dengan anyaman bambu. Di tengah tutup jumbleng terdapat lubang yang berfungsi sebagai lubang pembuangan. Plung! Jleb! Langsung terjun ke jumbleng.

Ada juga yang kreatif membuat jamban a la kabin helikopter di atas sungai. Kalau jenis jamban ini, bunyinya: plung… lap! Ia – yang tak boleh disebut namanya akan terhanyut mengikuti aliran air. Kalau jamban yang dibikin bapak lumayan permanen. Closetnya sudah menggunakan leher angsa (pijakan kaki dari semen), namun saluran pembuangan masih terhubung langsung ke sungai, bukan septic tank. Jamban yang nyaman ini, diam-diam sering dipakai orang. Maklum, jamban ini lokasinya di kebun jauh dari rumah utama. Makanya, bapak akhirnya mengembok pintunya.

Kami pun pindah rumah, waktu Indonesia sudah berumur 44 tahun. Kami punya kamar mandi plus jamban. Sengaja bapak membuatnya terpisah menjadi dua pintu. Closetnya berwarna biru langit dari porselin. Nikmat betul untuk jongkok berlama-lama. Sistem pembuangan sudah mengikuti kaidah kesehatan lingkungan, yakni septic tank 3 ruang tertutup (plus sistem resapannya).

Saya memiliki rumah ketika Indonesia beranjak tua, 55 tahun. Tentu saja saya memikirkan sebuah jamban juga. Meskipun rumah saya kecil, namun dilengkapi dengan dua kamar mandi plus jambannya. Jenis jambannya pun saya bedakan, satu jamban duduk satu lagi berupa jamban jongkok.

Kalau saya sedang kangen pada posisi jongkok, saya akan berlama-lama di jamban yang berjenis itu meskipun lama-lama ngap juga, tersebab perut saya yang buncit ini tergencet oleh kedua paha saya.

Kini, Republik ini telah berusia 68 tahun, namun sesekali saya masih menyaksikan saudara-saudara kita yang merendam pantatnya ketika berhajat. Merdeka Bung!