(Bukan) Korban UKT

Di tengah hingar-bingar penyambutan oleh kakak kelas Fakultas kepada para Maba (mahasiswa baru) SNMPTN UGM pada waktu proses tes Toefl dan registrasi pertengahan bulan lalu, ada sekelompok mahasiswa yang berorasi sambil membentangkan spanduk bertuliskan “Selamat Datang Korban UKT di Kampus Kerakyatan”.

Mereka yang berorasi saling bersahutan riuh-rendah dengan pengurus BEM yang berteriak lewat pelantang memanggil-manggil para Maba dari Fakultas yang sama, supaya berkumpul di suatu tempat untuk diberi pengarahan perihal Ospek.

Sayang sekali, orasi para pembawa spanduk seolah diucekin oleh para Maba yang hatinya sedang berbunga-bunga masuk universitas favorit mereka. Namun, diam-diam saya menyimak orasi mereka dan dalam hati menyatakan benarkah uang kuliah di UGM sekarang ini masuk kategori mahal?

Mungkin kalau dibandingkan dengan uang semesteran jaman kuliah saya yang “hanya” Rp 125 ribu per semester, sementara sekarang ini (disebut sebagai UKT = Uang Kuliah Tunggal) sebesar Rp 5.300 ribu per semester (diambil data dari Fakultas tempat saya kuliah dulu), dalam kurun waktu 27 tahun terjadi kenaikan sebesar 42 kali lipatnya. Jika berpatokan pada perkembangan kurs dollar US, kenaikan 42 kali lipat memang luar biasa besar (pada 12 September 1986 1 US$ = Rp 1.644,  sementara 18 Juni 2013 1 US$ = Rp 9.918, naik 6 kali lipat).

Apa sih UKT itu? Saya kutipkan dari Permendikbud Nomor 55 Tahun 2013 Pasal 1 ayat (3) Uang kuliah tunggal merupakan sebagian biaya kuliah tunggal yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya; dan ayat (4) Uang kuliah tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan biaya kuliah tunggal dikurangi biaya yang ditanggung oleh Pemerintah.

Saya menyimpulkan dari orasi para mahasiswa pembawa spanduk kira-kira seperti ini: UGM yang katanya kampusnya rakyat kebanyakan kok biaya kuliahnya mahal.

~oOo~

Kemarin jidat saya berkerut membaca sebuah berita dari media online. Judulnya cukup mengerikan: Gaji Orang Tua, Separuh Lulusan SNMPTN UGM Bohong.

Universitas Gadjah Mada merilis data bahwa separuh dari 3.317 peserta, yang lolos Seleksi Masuk Nasional Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) di kampus ini, mengisi data penghasilan orang tua dengan tidak benar ketika pertama kali mendaftar.

Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan UGM, Iwan Dwiprahasto, mengatakan informasi penghasilan orang tua dari 1.752 calon mahasiswa itu tidak konsisten antara yang terisi di berkas pendaftaran SNMPTN dengan data yang ditulis ulang ketika melakukan registrasi. (Kelanjutannya bisa dibaca di Tempo, 14 Juli 2013).

Menurut saya, UGM lebih terbuka merilis data. Bisa saja, “kebohongan” semacam itu terjadi juga di lembaga pendidikan lain. Mungkin bagi orang tua mereka yang (sengaja) bohong, jangan-jangan menghindari membayar uang kuliah yang tinggi atawa setidaknya bisa mengurangi jumlah sumbangan yang diminta universitas nanti.

Kalau memang kaya, buat apa sih pura-pura miskin? Jer basuki mawa bea, kata orang-orang waskita jaman dulu.