Menderas Qur’an

Pada sebuah mesjid yang agung, Mas Suryat membuka kitab suci dan membacanya. Aktifitas ini dilakukan sambil menunggu azan berkumandang atawa memanfaatkan jeda waktu setelah shalat maghrib menuju saat shalat isya. Tanpa disadari di sebelahnya telah duduk lelaki setengah baya yang di wajahnya terpancar kesejukan.

Ia menyalami Mas Suryat. “Assalamualaikum. Saya Anshori dari Lumajang. Sampeyan?” Mas Suryat menyebutkan nama dan asalnya.

“Sudah khatam berapa kali di mesjid ini?”

“Baru separoh, sepertinya nggak bakalan mengkhatamkan, soalnya besok saya pulang ke Tanah Air.”

“Maaf, pertanyaan saya tadi bukan untuk menghakimi Sampeyan. Sebelumnya punya target mengkhatamkan Qur’an di Tanah Haram ini?” 

“Betul. Tidak tercapai khatam mungkin bacaan saya masih grutal-gratul. Belum lancar betul.”

“Semua perlu proses belajar toh. Kalau boleh tahu, selama ini sudah khatam Qur’an berapa kali?”

“Seingat saya, sudah tiga kali. Insya Allah ini proses khatam keempat kali.”

“Alhamdulillah. Apa yang bisa Sampeyan ambil hikmah dari khatam tiga kali tersebut? Sekali lagi maaf dengan pertanyaan lancang ini. Saya hanya ingin berdiskusi dengan Sampeyan.”

“O, nggak apa-apa, Ustadz. Boleh kan saya memanggil bapak dengan sebutan itu? Hikmahnya, hati saya menjadi tentram.”

“Meskipun nggak memahami isinya?”

Nggih.”

“Nah, mulai sekarang kita ubah pola kebiasaan. Dari tingkat membaca Qur’an menjadi menderas Qur’an. Banyak di antara kita bangga sekali bisa mengkhatamkan Qur’an. Bahkan dirayakan dengan membuat nasi kuning segala. Tapi, dengan mengkhatamkan Qur’an apa dijamin memahami isinya?”

“Bagaimana akan memahami, Ustadz. Kebanyakan dari kita nggak paham bahasa Arab.”

Ustadz yang memiliki jenggot tipis itu meraih Qur’an yang ada di rak. Ia mengambil Qur’an terjemahan Bahasa Indonesia.

“Tak bisa berbahasa Arab tak menghalangi mempelajari isi Qur’an. Kita bisa memanfaatkan Qur’an terjemahan Bahasa Indonesia. Lihatlah di rak itu. Qur’an telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Itu untuk memudahkan umat memahami isi kandungan Qur’an.”

Mas Suryat semakin tertarik pada pembicaraan tersebut.

“Dengan jujur saya mengatakan, Ustadz, susah sekali untuk mengerti isi kandungan Qur’an.”

“Begini. Qur’an ini ibaratnya manual book yang diciptakan Gusti Allah sebagai pegangan hidup manusia. Pertanyaan saya, bagaimana mungkin Gusti Allah menciptakan manual book supaya kita susah? Kira-kira nih, Qur’an itu seharusnya mudah atawa susah? Coba Sampeyan jawab.”

“Mestinya mudah.”

Ustadz itu membuka surat al-Qamar. “Coba Sampeyan baca terjemahannya, di ayat 17!”

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”

“Terus baca di ayat 22.”

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”

“Kemudian di ayat 32.”

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”

“Juga di ayat 40.”

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”

Mas Suryat mengulang lagi membaca ayat-ayat tersebut.

“Betul, Ustadz. Gusti Allah sangat serius menekankan kalau Qur’an itu mudah.”

Ustadz itu tersenyum.

Azan telah berkumandang. Suara muazin nan merdu sungguh menenangkan jiwa.