Kita bangsa yang cerewet

Kata cerewet dieja ce.re.wet, merupakan kata sifat, definisinya suka mencela ini-itu (mengomel, mengata-ngatai); banyak mulut; nyinyir.

Gara-gara hape, kita jadi bangsa yang (sangat) cerewet. Sebentar-sebentar nelpon, meskipun yang diomongin masalah remeh-temeh. Memang sudah zamannya, hape bukan lagi dimonopoli golongan kelas atas. Setiap orang boleh punya hape, bahkan lebih dari satu.

Awalnya sih cuma suka ngomong, lama-lama levelnya menjadi cerewet.

Pernah dilansir dalam sebuah berita, Indonesia menempati peringkat ketiga pengguna telepon genggam terbanyak di seluruh Asia-Pasifik. Pengguna hape di Indonesia diperkirakan mencapai 250 juta orang, jauh lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk di Indonesia yang 240 juta orang. Tak heran Indonesia menjadi pasar yang sangat potensial bagi industri seluler.

Ada tukang becak yang lagi santai di atas jok-nya, leyeh-leyeh sambil tertawa sendiri. Rupanya ia sedang bertelpon-telponan dengan kawannya. Pembicaraannya nggak penting. Tanpa sadar pulsanya tersedot habis, padahal tetesan keringat hasil mancal becak belum kering betul.

Mungkin perilaku telpon-telponan seperti tukang becak itu saban hari – bahkan saban waktu, kita lakukan. Orang yang semula pendiam, gara-gara punya hape kini menjadi orang yang cerewet. Saya mengambil contoh tukang becak untuk menggambarkan betapa hape sudah dipergunakan oleh semua lapisan masyarakat.

Jika dulu kecerewetan diukur dengan verbal yang keluar dari mulut seseorang, kini tergantikan dengan tulisan/teks.  Tahun lalu, Kemenkominfo mencatat, setidaknya sebanyak 44,6 juta pengguna Facebook dan sebanyak 19,5 juta pengguna Twitter di Indonesia.

Selamat bercerewet-ria, sebelum cerewet itu dilarang.