Tanpa setahu Duryodana, pas di tanggal kelahirannya Banowati akan membuat kejutan lagi. Hari itu Banowati sengaja ambil cuti. Loh kok cuti, memang Banowati kerja kantoran? Bukan. Sebagai permaisuri otomatis ia didapuk menjadi Ketua Dharma Wanita Hastinapura. Organisasi yang ia pimpin sarat dengan aneka kegiatan. Maka, demi suami yang tengah berulang tahun ia mengambil prei.
Sungguh, tindakan Banowati seperti ini semakin membuat Arjuna alias Brihanala terheran-heran sangat. Ia tak siap menghadapi peristiwa hancur hatinya gara-gara cintanya sudah ditanggalkan dari kamar hati Banowati. Ujudnya sebagai Brihanala semakin menyiksanya.
Banowati keluar dari kamarnya sudah berdandan demikian eloknya. Kecantikan Banowati telah membuat iri para bidadari di kahyangan sana. Semua mata memandang ke arahnya. Tak ada orang yang tak berdecak kagum menyaksikan keanggunan Banowati. Hanya Arjuna yang menundukkan pandangan. Beruntung sekali Duryodana mendapatkan istri Banowati, gumam Arjuna.
Brihanala tergagap saat ia diminta oleh Banowati mempersiapkan kue tart ulang tahun. Para kerabat Kurawa telah berkumpul di balairung istana. Terlihat juga keluarga inti dari Duryodana: Prabu Sepuh Destarastra dan Gandari – mereka orang tua Duryodana, serta kedua anaknya, Lesmana dan Lesmanawati.
Kue tart pun dipotong oleh Duryodana. Potongan itu ia berikan kepada Banowati, kemudian mereka saling mengecup pipi. Menyaksikan adegan ini, jemari tangan Arjuna terkepal kencang. Ia menahan gejolak cemburu.
“Bukan tanpa alasan saya memberikan potongan kue ini kepada istri saya yang terkasih. Dengarkan cerita saya…!” Semua orang terdiam menunggu Duryodana melanjutkan kalimatnya.
“Ini adalah salah satu kisah di balik diterimanya pertobatan saat ziarah pertobatan beberapa waktu yang lalu. Bathara Narada menemui saya, dan bertanya….”
Kemudian Duryodana melanjutkan kalimatnya, “Duryodana, seandainya saat ini Bathara Yamadipati ingin mengambil nyawa semua keluargamu dan ia menyisakan satu orang yang akan menemanimu hidup di dunia ini, siapakah yang akan kamu pilih, apakah ayahmu, ibumu, istrimu, atawa anak-anakmu. Kebetulan anakmu ada dua, kamu akan memilih siapa, Lesmana atawa Lesmanawati?”
Suasana balairung hening. “Saya menatap sejenak ke wajah Bathara Narada, dan dengan mantap saya memilih Banowati, istri saya.”
Banowati yang baru mendengar cerita ini terkejut. Kemudian Duryodana melanjutkan kisahnya.
“Bathara Narada bertanya kepada saya kenapa tidak memilih ayah atawa ibu yang telah mengasuh dan membesarkan saya hingga menjadi raja di Hastinapura? Dan kenapa saya tidak juga memilih salah satu anak yang menjadi darah daging dan keturunan saya. Lagi pula, seorang istri bisa dicari lagi jika istri meninggal? Bathara Narada rupanya penasaran kenapa saya memilih Banowati.”
“Lalu, Mas Dur menjawab apa?” tanya Banowati, penasaran.
“Saya menjawab, dengan bertambahnya usia yang makin sepuh ayah dan ibu akan pergi meninggalkan saya. Untuk Lesmana dan Lesmanawati, akan hidup bersama keluarga mereka masing-masing dan pasti mereka meninggalkan saya juga. Orang yang betul-betul bisa menemani saya dalam sisa hidup ini hanyalah Banowati, istri saya. Ia, istri saya yang cantik ini, kalian tahu bukan, saya yang memilihnya sendiri dari banyak perempuan yang ada di Kerajaan Hastinapura.”
Air mata Banowati menetes dari sudut matanya yang indah. Ia makin mantap untuk memilih bersetia kepada Duryodana, dan melupakan sama sekali perselingkuhannya bersama Arjuna. Tutup buku.
Diam-diam Brihanala meninggalkan balairung. Hatinya pecah berkeping-keping.
Tancep kayon!