Memburu Celeng Inggris

Judul buku : Si Pemburu 1 & 2 – Penulis : Hario Kecik – Penerbit : Pustaka Sastra LKiS Yogyakarta, 2008 – Tebal buku 1 : xvi + 414 buku 2 : xi + 574 halaman.

Dalam suasana peringatan Proklamasi RI 17 Agustus 2009 saya ingin mengenang peristiwa perang kemerdekaan tahun 1945 di Surabaya dengan meresensi 2 buku yang menurut saya sangat bagus, yang dikarang oleh Hario Kecik panggilan akrab Soehario K. Padmodiwiryo di mana ia sendiri sebagai pelaku sejarah di perang kemerdekaan tersebut. Ia pernah menjadi Wakil Kepala Staf V SUAD (Staf Umum Angkatan Darat) Jakarta. Tahun 1959 – 1965 ia menjadi Panglima Kodam IX Mulawarman, Kalimantan Timur.

Novel ini menceritakan seorang anak yang bernama Ario Sudi, yang di dalam novel ini dipanggil dengan Su. Di awal pada tahun 1931, Su mengadakan liburan di rumah kakeknya, dengan membawa senjata berburunya. Saat itu Su berumur sebelas-dua belas tahun sedang masa libur sekolah HBS. Su tinggal bersama orang tuanya di Surabaya.

Kakek Su ini masih keturunan salah satu senopati perang Sultan Agung yang tidak setuju dengan Amangkurat II yang meminta tolong tentara Belanda dalam perang perebutan tahta Kasunanan setelah Sultan Agung mangkat. Sultan Amangkurat I yang menggantikan Sultan Agung ternyata tidak mampu meneruskan pemerintahan Mataram dengan baik. Ia tidak mampu meneruskan garis tegas Sultan Agung yang pernah menyerbu Batavia dua kali pada awal abad 17, di waktu mana Jean Pieter Zoon Coen tewas pada serangan kedua tahun 1629. Para senopati Sultan Agung dan pengikutnya meninggalkan Mataram, lengser ke daerah-daerah yang tak bertuan pada zaman itu seperti Kediri, Tulungagung dan Blitar. Bisa jadi Su ini salah satu titisan dari seorang senopati Sultan Agung.

Selama liburan di rumah kakeknya, Su digembleng kakek cara menggunakan senjata. Setiap hari Su berlatih tidak kenal lelah, dibantu oleh Kusno, pamannya. Semua orang heran dengan kemajuan yang diperoleh Su dalam menembak. Segala macam sasaran Su mampu menembaknya dengan tepat, bahkan dengan mata terpejam dengan mengandalkan feeling dan pendengaran semata. Keluarga besar Su memang pemburu, kakek, nenek, paman, ayah, juga dan ibunya.

Di desa kakeknya, Su banyak dimintai tolong untuk memburu tupai yang merusak pohon kelapa, atau burung-burung yang merusak tanaman padi. Ajaran kakek Su, dalam berburu harus menjaga keseimbangan alam jangan asal menembak hewan buruan. Di buku seri 1, Hario Kecik menceritakan kepandaian Su dalam berburu di hutan, mulai dari berburu celeng sampai berburu buaya yang sangat besar yang meresahkan warga di sekitar Alas Purwo Banyuwangi. Berbagai macam senjata berburu juga dijelaskan secara detil di buku ini. Pada liburan kedua, selain diajari menembak, Su diwajibkan oleh kakeknya untuk bertapa, olah jiwa, untuk mendapatkan ilmu ngrogoh sukma, semacam ilmu telepati di mana ia bisa melakukan berkomunikasi lewat batin dan bisa berada di tempat lain dalam satu waktu yang bersamaan.

Su melanjutkan studi ke Sekolah Kedokteran Tinggi di Batavia, pada saat yang bersamaan dengan suhu politik yang memanas di Nederland dan Negara Eropa lainnya. Tahun 1942, ketika Jepang datang situasi pemerintahan Belanda di Batavia atau di Surabaya menjadi kacau. Orang-orang Belanda pulang ke negerinya. Su pulang ke Surabaya memastikan keselamatan keluarganya. Di jaman Jepang tersebut Su menjadi mahasiswa di bawah pimpinan Prof. Dokter Mayjen Hitangaki, Dekan Ika Dai Gaku dan bergabung dalam latihan militer mahasiswa di Dai Dan PETA.

Jepang kalah perang di mana-mana. di Jakarta Soekarno-Hatta mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan RI. Sementara di Surabaya sendiri terjadi ketegangan situasi karena mendaratnya tentara sekutu pada tanggal 25 Oktober 1945. Rakyat Surabaya bangkit. Revolusi rakyat Surabaya ini menggemparkan dunia Internasional. Pada pukul 18.46 senja, Perwakilan TKR dan rakyat bersenjata yang berkumpul di markas itu menyatakan ikrar sumpah kebulatan tekad “Merdeka atau Mati” yang isinya :

Tetap Merdeka!
Kedaulatan Negara dan Bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 akan kami pertahankan dengan sungguh-sungguh, penuh tanggung jawab bersama, bersatu ikhlas berkorban dengan tekad “Merdeka atau Mati!”

Sekali merdeka tetap merdeka!

Surabaya, 9 Nopember 1945

Sungguh peristiwa yang patriotik. Apalagi esoknya, tanggal 10 Nopember 1945 terjadi pertempuran yang sangat dahsyat yang dilakukan oleh arek-arek Suroboyo. Su dan kawan-kawannya melakukan perburuan besar, berburu celeng Inggris. Dengan kemampuan menembak, Su telah menewaskan puluhan tentara Sekutu. Konon, perang selama Oktober – Desember 1945 ini mencabut dua puluh ribu nyawa pejuang dari kampung-kampung di Surabaya. Hario Kecik sangat dekat dengan peristiwa ini.

Aha! Kalau cerita seru yang satu ini, kita menunggu saja artikel edisi Hari Pahlawan yang saya yakin akan dipersiapkan secara apik oleh Pakdhe Cholik.

Bagi setiap orang yang selalu memantau jalannya perkembangan negara Indonesia saat ini, timbul pertanyaan mengapa keadaan sosial rakyat Republik Indonesia masih demikian memprihatinkan. Tidak hanya keadaan rakyat yang belum baik, tapi keadaan kelompok elite yang memimpin negara ini masih belum menunjukkan sifat-sifat moral dan mental yang diharapkan sebagai pemimpin negara yang diidam-idamkan oleh pejuang revolusioner sejati kemerdekaan 1945.

Korupsi masih merajalela, penyalahgunaan wewenang di segala bidang masih terjadi dan belum menunjukkan adanya penurunan. Mau tidak mau setiap orang yang peduli dengan jalannya sejarah bangsa ini kita ingin meninjau mengapa semua ini terjadi, apa sebabnya, dan apakah hal ini merupakan kelanjutan dari keberadaan rakyat kita pada masa lampau? Wallahu a’lam.

DIRGAHAYU 64 TAHUN REPUBLIK INDONESIA

 Saya bangga menjadi rakyat Indonesia