Selamat Berpuasa Ramadhan, Bapak Presiden

Stelan jas hitam sudah saya persiapkan seminggu sebelumnya. Ya maklum saja, jas yang baru saya beli itu akan saya gunakan untuk bertemu orang nomor satu di negeri ini. Setelah masuk laundry menjadi rapi dan Wangi, tentu saja.

Saya pun mempersiapkan diri dengan mulai mereka-reka apa yang akan saya sampaikan kepada Presiden. Saya mencoba menuliskannya di notebook, untuk saya hapalkan supaya ketika berbicara dengan beliau agak lancar, nggak grogi-grogi amat. Pokoknya harus stel pede. Jangan kalah dengan para pengamat politik, yang bicaranya sundul langit ke tujuh itu.

Inilah naskah yang akan narasikan di depan Presiden :

Selamat ya pak atas terpilihnya Bapak jadi Presiden RI. Kita bersyukur bahwa bangsa kita telah berhasil melakukan pemilihan legislator dan pemilihan presiden  secara damai dan demokratis. Hal ini menandakan semakin mekarnya demokrasi di negeri ini. Kemenangan Bapak  ini adalah kemenangan rakyat, mohon bekerja sekeras-kerasnya bagi kepentingan rakyat. Bapak Presiden, program kerja yang disusun nanti jangan lepas dari persoalan peningkatan kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, memperkuat ekonomi rakyat kecil, revitalisasi pertanian dan industri. Semua itu agar didorong dengan pembangunan infrastruktur berbagai bidang.  Saya yakin semua itu bisa berhasil jika dijalankan oleh pemerintahan yang bersih dan cakap. Untuk itulah, nanti, ketika Bapak menyusun kabinet pilihlah menteri yang cakap dan profesional di bidangnya. Kalau pun terpaksa memilih dari orang dalam partai pendukung Bapak, ambillah yang benar-benar tahu dan menguasai bidang yang akan diembannya. Jangan memilih ketua partai jadi menteri ya pak. Kini saatnya Bapak memajukan negeri ini, dengan dukungan penuh dari rakyat.

Naskah di atas saya baca berulang-ulang supaya hafal di luar kepala. Ini kesempatan langka, maka saya ingin menyampaikan uneg-uneg saya kepada Presiden.

Hari H.

Sepanjang acara di Istana saya ndremimil menghafal naskah saya. Tidak terasa, saatnya bersalaman dengan beliau. Ketika saya berdiri untuk berjalan ke arah Presiden, protokol istana berbisik kepada saya, “Mas, waktunya cuma 3 detik!”

Ajaib.
Hafalan saya buyar.
Hilang.
Raib.

Tak satu pun kalimat dalam naskah bisa saya telusuri secara utuh. Saya bersalaman dengan Presiden cuma dengan senyum. Kilatan blitz kamera semakin mengosongkan fikiran saya. Bahkan, untuk sekedar mengucapkan: “Selamat berpuasa Ramadhan Bapak Presiden”, tidak keluar dari bibir saya.