Mati ketawa cara Niwatakawaca [1]

Lanjutan dari kisah Obat rindu tidak harus bertemu

Supraba manut saja mengikuti langkah-langkah tegap para Satpam yang mengawalnya. Ia tak tahu persis mengapa Prabu Niwatakawaca ingin bertemu dengannya. Tetapi ia memutar otaknya, mempersiapkan cerita yang lucu untuk diperdengarkan di telinga penguasa Manimantaka tersebut.

Diam-diam Arjuna mengikuti Supraba.

***

Tempat favorit Niwatakawaca menikmati sore adalah taman belakang kamar tidurnya. Taman yang tak begitu luas namun sedap dipandang mata. Aneka pepohonan tumbuh di hamparan rumput. Di pojokan dibangun kolam kecil yang berisi ikan-ikan hias yang mayoritas berwarna merah.

Supraba segera menyapa Niwatakawaca. Lelaki yang berbentuk raksasa itu pun menyambut Supraba dengan meraih tangan dan mempersilakan duduk di sebelahnya.

“Seperti inilah ketika aku menikmati kesendirian,” ujar Niwatakawaca sambil menatap mata Supraba.

Perempuan bidadari itu menjadi salah tingkah. Bukankah dengan kekuasannya yang tiada terbatas itu ia bisa memaksaku melayani birahinya. Mengapa ia mengajak bicara baik-baik seperti ini?

“Kenapa kamu diam, Supraba? Berkata dalam hati ya, seperti di sinetron-sinetron itu?” canda Namikmantaka dengan senyum di bibirnya.

“Ada apa Baginda memanggilku?” tanya Supraba.

“Aku kangen padamu. Ingat, besok di keraton ini akan diselenggarakan pesta perkawinan agung, Raja Manikmantaka mengawini bidadari kahyangan yang paling cantik dan elok, dirimu Supraba. Apa yang kamu rasakan saat ini? Bahagia atau sedihkah?” tutur Niwatakawaca.

Supraba bingung harus menjawab apa.

“Siapa sih yang tidak bahagia menjadi permaisuri raja besar seperti Baginda?” Supraba beretorika.

“Benarkah yang aku dengar ini?” mata Niwatakawaca berbinar dengan sungging senyum di bibirnya.

Niwatakawaca meraih tangan Supraba dan mencium punggung tangan yang lembut itu.

“Apa Baginda tidak tertarik dengan bidadari lain yang cantik dan moleknya tak kalah denganku?” pancing Supraba.

“Memang ada? Aku sudah mengobrak-abrik kahyangan. Supraba lah yang paling cantik, maka aku memilihnya!” kata Niwatakawaca.

“Jangan-jangan Baginda belum melihat atau mendengar ada bidadari yang bernama Nawangwulan. Bukankah bidadari ini telah menggoncangkan bumi karena kecantikannya?” Supraba mulai memasang jebakan.

“Ha.. ha.. ha.. Nawangwulan itu cuma dongeng, cah ayu. Itu kan bidadari yang pakaiannya dicuri oleh Joko Tarub, lalu disembunyikan di bawah lumbung padi!” kali ini Niwatakawaca tak kuat menahan tawa di sela-sela omongannya.

Ah seandainya Arjuna ada di sini, kesempatan ini bisa ia manfaatkan untuk menancapkan panah saktinya ke rongga mulut Niwatakawaca.

Loh, kenapa diam Supraba? Bukankah betul yang aku katakan?” tanya Niwatakawaca.

“Baginda betul, itu hanya dongeng belaka. Tapi, maukah Baginda aku ceritakan selembar dongeng tentang bidadari yang turun ke bumi tersebut?” tanya Supraba.

Niwatakawaca senang betul dengan obrolan sore itu dan ia mempersilakan Supraba mulai mendongeng.