Karena berencana mendadak pergi ke SOC-JOG, sempat kesulitan mendapatkan tiket meski akhirnya bisa berangkat dari Stasiun Bandung. Saya tiba di stasiun menjelang maghrib dan njujug masjid stasiun setelah urusan menginapkan Kyai Garuda Seta selesai.
Masjid yang kecil tak mampu menampung jamaah, sehingga shalat jamaah dilaksanakan menjadi beberapa kloter. Adalah ketika kloter kedua selesai saya menyaksikan seseorang berpenampilan seniman: rambut gondrong, jenggot panjang dikucir, telinga kiri-kanan beranting, berkalung panjang, dengan pakaian serba hitam. Dalam hati saya ngrasani: boleh juga nih seniman, mengutamakan shalat tepat waktu dan berjamaah pula.
Malam Jumat kemarin itu suasana stasiun sangat ramai. Jam setengah tujuh Kereta Lodaya telah siap. Gerbong saya posisinya paling belakang, lumayan jauh untuk menuju ke sana.
Betapa terkejutnya saya ketika saya sebangku dengan seniman yang sempat saya rasani sebelumnya. Saya menyapanya dengan pertanyaan standar: turun di mana mas? Ia menjawab kalau turun Jogja.
Kereta berangkat tepat waktu. Saya segera mengeluarkan nasbung gudeg krecek yang beli di depan stasiun, sementara lelaki seniman juga mengeluarkan bekal nasi goreng. Kami mulai ngobrol ngalor-ngidul.
Ia bercerita kepergiannya ke Bandung menjadi pembicara di kegiatan yang dilaksanakan oleh Seni Rupa ITB. Lamat-lamat wajah orang ini membuka memori saya: seperti kenal dengan wajahnya, tapi di mana? Ia makin banyak bercerita tentang kegiatan berkesenimanannya. Hingga akhirnya kondektur kereta memeriksa tiket para penumpang. Pada saat ia mengulurkan tiket ke kondektur saya lirik nama yang tertera di tiketnya.
Segera saya ketikkan di papan milik Kyai Gugel. Dapat! Dialah mas Yamik, perupa dari Jogja. Ia pernah diwawancara Pak Mario Teguh pada sesi From Yogyakarta With Love dan saya mengingatnya. Untuk meyakinkan lagi, saya buka Yutub dan benar saja.
Saya tunjukkan Yutub itu kepadanya, dan ia menceritakan latar belakang prosesi wawancara tersebut.
Nama Yamik sudah saya kenal jauh hari sebelumnya, ia adalah vokalis Orkes Sinten Remen pimpinan Djaduk Ferianto, di mana saya punya koleksinya (album Komedi Putar) masih dalam bentuk kaset. Ia pernah bergabung di Teater Gandrik, Kyai Kanjengnya Cak Nun, bahkan main ketoprak.
Obrolan dengannya makin gayeng. Tak segan ia ceritakan masa-masa kelamnya hingga ia bisa sumeleh hatinya semenjak menjadi abdi dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, peran istrinya yang menuntunnya untuk tidak meninggalkan shalat dan tentu saja aktivitas kesenimanannya. Event besar yang ia tangani adalah Nandur Srawung yang terkenal itu (Nov 2014) di mana ada 500an seniman berkumpul menjadi satu keluarga yang saling srawung dengan cara mematikan ego masing-masing.
Kami berpisah di Stasiun Tugu, sebab saya melanjutkan perjalanan ke SOC.