Dengan kecepatan sedang, saya kemudikan Kyai Garuda Seta melewati jalan berkelok-kelok untuk menuju Padepokan Mpu Kanwa yang berada di balik hutan pinus Gunung Panawijen. Melalui petunjuk GPS, belokan jalan menuju padepokan tak jauh lagi.
Ketika saya akan belok kiri, saya lihat seorang perempuan dan anak lelaki kecilnya sedang duduk di bawah pohon Kesemek seperti ada yang mereka tunggu. Setelah menepikan Kyai Garuda Seta saya menghampiri mereka.
“Maaf, boleh saya tanya ke mana arah Padepokan Mpu Kanwa?” tanya saya lembut kepada perempuan yang kemungkinan ibu dari anak lelaki yang dipangkunya.
“Pakde mau bertemu dengan Eyang Kanwa, kakekku?” tanya anak lelaki yang umurnya sekitar enam tahun itu.
“Mpu Kanwa adalah ayah saya, Pak Lik. Ikutilah jalanan ini, nanti jika bertemu perempatan ambil arah ke kanan!” kata perempuan yang diam-diam saya perhatikan wajah cantiknya.
Perempuan seumuran anak pertama saya itu menunjuk ke arah jalan yang mesti saya lalui. Saya mengucapkan terima kasih dan berbasa-basi kepadanya menawarkan tumpangan kepadanya.
“O, kalau begitu kalian ikut saja sekalian dengan saya!” ucap saya beramah-tamah.
“Terima kasih, Pak Lik. Saat ini kami sedang menunggu ojek lewat. Kami akan menuju pangkalan bus yang membawa kami ke ibukota Hastinapura,” papar perempuan yang mengenakan baju berwarna kuning itu.
Sakuntala harusnya memanggilku ‘mas’ wong anaknya memanggilku dengan sebutan ‘pakde’. Atau aku dipanggil ‘mbah’ oleh Sarwadamana soalnya ibunya memanggilku dengan sebutan ‘paklik’.
Setelah mengucapkan terima kasih sekali lagi, saya meneruskan perjalanan ke Padepokan Mpu Kanwa. Nama Mpu Kanwa selain terkenal sebagai pendekar pilih tanding, ia juga seorang pujangga hebat. Saya akan meguru perkara kesusasteraan kepadanya.
Saya diterima oleh seorang cantrik dan disuruhnya menunggu sejenak. Tak lama kemudian Mpu Kanwa keluar dari kamarnya dan menemui saya. Hmm, usia Mpu Kanwa sudah sepuh juga ya. Tapi masa iya, perempuan yang saya temui di pinggir jalan tadi anaknya, bukankah lebih pantas menjadi cucunya. Saya bereka-wicara, mirip adegan dalam sinetron-sinetron itu.
Saya memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangan saya kepadanya. Karena ia orang yang waskita maka kedatangan saya sebetulnya sudah diketahui lewat semedinya.
“Saya tak keberatan sampeyan meguru di padepokan ini. Tapi sebelumnya saya mau minta tolong. Antarkan anak saya Sakuntala dan anaknya ke ibukota Hastinapura. Dan bawalah ini!” pinta Mpu Kanwa kepada saya sambil memberikan sekeping CD.
“Lalu, di mana anak Mpu?” tanya saya.
“Mereka, Sakuntala dan anaknya, yang sampeyan temui di ujung jalan tadi,” jawab Mpu Kanwa.
Mungkin ini ujian pertama saya sebagai cantriknya Mpu Kanwa. Saya akan mengemban tugas ini sebaik-baiknya.