Sakuntala nyaris putus asa

Lima tahun terakhir, padepokan yang diasuh oleh Mpu Kanwa itu diisi oleh celoteh lelaki kecil, yang tak lain adalah cucu Mpu Kanwa sendiri. Sebagai seorang yang waskita, ia dapat melihat masa depan cucunya kelak yang akan menjadi raja besar. Waktu lahir, Sarwadamana – nama anak lelaki usia lima tahun itu, pada telapak tangannya ada tanda cakra, sebuah tanda bahwa siapapun yang memilikinya bakal menjadi penguasa dunia. Mpu Kanwa sangat menyayangi cucu lelakinya itu sehingga sejak usia dini sudah diajarkan berbagai ilmu kebijaksanaan selain ilmu kanuragan.

Sementara itu di balik bukit di belakang padepokan, seorang perempuan jelita tengah memandang ke arah jalan yang menuju padepokan. Ia seperti menunggu kedatangan seseorang. Ia melakukan pekerjaan menunggu seperti itu hampir saban hari, setelah beberapa waktu sebelumnya Sarwadamana menanyakan kepadanya di mana ayahnya berada.

***

Arkian, enam tahun tahun yang lalu ada seorang raja yang bernama Duswanta pergi berburu ke dalam hutan. Karena kelelahan, ia bermaksud beristirahat sejenak. Ketika ia melewati padepokan Mpu Kanwa, ia mampir untuk sekedar leyeh-leyeh dan minta seteguk air.

Tak dinyana olehnya, ia disambut oleh seorang gadis jelita yang mempersilakannya masuk ke dalam padepokan. Cinta tumbuh pada pandangan pertama. Rasa lelah dan letih yang semula dirasakan oleh Raja Duswanta sirna sudah oleh keelokan paras gadis yang menyambutnya dengan ramah.

“Siapa namamu, wahai gadis manis?” tanya Duswanta dengan lembut.

“Nama saya Sakuntala, Paduka,” jawab gadis itu dengan tersipu malu.

Ia lalu masuk ke dalam rumah dan memberitahukan kepada Mpu Kanwa kalau ada tamu yang menunggunya. Sakuntala keluar lagi dengan membawa secangkir kopi dan kudapan pisang goreng.

Tanpa tedeng aling-aling, Raja Duswanta melamar Sakuntala untuk dijadikan istrinya.

“Bagaimana, Mpu. Apakah saya diizinkan mengawini putrimu?” pinta Duswanta.

Mpu Kanwa memanggil Sakuntala. Tak serta merta Sakuntala menerima pinangan seorang lelaki yang baru saja dikenalnya.

“Sakuntala, apa pun persyaratan yang engkau ajukan aku akan memenuhinya. Asal engkau mau menjadi istriku!” rayu Duswanta yang sudah terlanjur cinta.

Setelah berdiskusi dengan ayahnya, Sakuntala mengiyakan pinangan Raja Duswanta tetapi dengan satu syarat.

“Apa keinginanmu, Sakuntala?” tanya Duswanta.

“Saya ingin anak yang saya lahirkan nanti mewarisi tahta milik Paduka!” Sakuntala mengajukan syarat.

Raja Duswanta menyetujui syarat tersebut dan saat itu juga dilakukan akad nikah di padepokan Mpu Kanwa.

Sungguh malang nasib Sakuntala. Belum genap tiga purnama usia perkawinannya, Raja Duswanta harus kembali ke istananya tanpa memboyong Sakuntala. Memang demikian garis nasib Sakuntala, apalagi saat itu ia sedang hamil muda.

“Begitu engkau melahirkan anak kita, aku akan menjemputmu, Sakuntala,” janji Duswanta.

Sakuntala pasrah. Sampai Sarwadamana berumur lima tahun, jangankan menjemputnya, Raja Duswanta tiada mengabarinya. Tetapi Sakuntala masih memegang janji suaminya itu hingga kini. Saban hari ia melongok jalan menuju padepokan dengan harapan Raja Duswanta datang kepadanya.

***

“Lebih baik engkau bawa Sarwadamana menghadap ayahnya, puteriku!” usul Mpu Kanwa.

Sakuntala ingat janji Raja Duswanta kalau kelak anak lelakinya itu yang akan mendapatkan warisan tahta sebagai seorang raja. Maka, dengan hati yang mantap ia bawa Sarwadamana menuju istana Raja Duswanta.

Setelah berjalan cukup jauh ke arah jalan utama, Sakuntala dan putranya duduk di sebuah bangku reyot di bawah pohon Kesemek menunggu ojek yang lewat yang akan membawa mereka ke ibukota kerajaan.

Cerita ini akan bersambung ke Duswanta Ingkar Janji