Sebelum ke Balikpapan, Kediri dulu

Sebelum libur tahun baru kemarin saya makan siang dengan Mas Purwo di restoran sebuah hotel bintang 3+ di bilangan tak jauh dari kantor saya. Kami lama tak berjumpa, pertemuan kemarin sebagai ajang silaturahim biar ndak putus di tengah jalan.

Sekedar mengingatkan, tulisan tentang Mas Purwo pernah saya bikin di antaranya: KosongKebiasaan makan yang baik atau Sedikit di bawah standar cara jitu menikmati hidup.

Penampilannya masih sama ketika terakhir saya bertemu dengannya, hanya kini ia mengenakan cincin batu akik berwarna hijau.

“Waduh, ikutan sindrom pakai akik mas? Jenis mata kucing, nih?” tanya saya.

“Ah… sampeyan perhatikan juga. Batu ini saya dapatkan di Karangsambung Kebumen. Coba saya test, kalau batu jenis beginian khasiatnya apa coba?” pancingnya.

“Ini terkait cakra ke empat, jantung dan dada. Bisa menguatkan jantung dan otot saraf, mengurangi emosi negatif, dan sifatnya adem, soalnya menumbuhkan rasa kasih sayang,” kata saya sambil memanggil ingatan di lipatan otak saya.

Ia tersenyum dan melepaskan cincin itu lalu diangsurkan ke saya. Untuk menyenangkan hatinya, saya elus-elus batu akik yang telah diikat dengan ukiran perak itu.

Perhatian kepada batu akik teralihkan kepada makanan dan minuman yang kami pesan telah disajikan di meja kami. Menu makanan saya: Gindara Misozuke. Sedangkan menu Mas Purwo: Ayam Bakar. Saya memilih menu tersebut atas rekomendasi petugas restoran.

Mas Purwo bangkit – belakangan saya tahu ia mencari wastafel untuk cuci tangan, tak lama kemudian kembali duduk dan mempersilakan saya untuk memulai makan.

“Saya lebih percaya kebersihan tangan saya dari pada sendok restoran ini,” ujar Mas Purwo sambil muluk nasi.

Diam-diam saya amati cara makannya. Dengan lembut ia ambil nasi dari piring menggunakan jemari tangannya, kemudian tersuap ke dalam mulutnya. Pengamatan saya selanjutnya, benarkah ia akan mengunyah makanan sebanyak 33 kunyahan?

Betul. Atau setidaknya mendekati betul, sebab saya tak yakin dengan hitungan saya terhadap gerakan rahang-rahangnya. Mas Purwo cuek saja memainkan jemari tangannya untuk mencocol sambal, menowel daging ayam atau menyuapkan pulukan nasi ke dalam mulutnya.

Kalau di RM Padang, saya pun akan berpuluk-ria, tetapi ini di restoran hotel? Saya belum berani dan nekat seperti Mas Purwo. Etiket makan yang biasa disebut table manner itu ditabrak oleh Mas Purwo.

Ia tentu punya alasan tersendiri melakukan hal tersebut. Saya tak hendak menanyakan kepadanya.

Mas Purwo seperti bisa membaca pikiran saya, lalu ia menjelaskan kenapa lebih memilih cara muluk daripada menggunakan sendok. Panjang lebar ia bercerita sejarah table manner hingga diadopsi oleh kalangan priyayi Jawa khususnya dan ia kembali mengulang pernyataan pertamanya kalau ia lebih percaya pada kebersihan tangannya.

Sebelum kami berpisah, saya bertanya kepadanya apakah ada pitutur luhur yang mesti saya ketahui.

“Sebelum ke Balikpapan, Kediri dulu. Nanti akan sampai di Parahyangan. Perbaiki dan bersihkan diri-sendiri dari noda dan dosa, sebelum berada di balik papan. Surga juga akan menunggu kedatangan kita,” tuturnya.

Sebuah nasihat tentang kematian.