Mahkamah Nurani

Di ujung hari Kamis, ketika sedang asyik-asyiknya blogwalking pintu kamar saya digedor orang dari luar. Kejadiannya begitu cepat, dua orang petugas berseragam abu-abu meringsek ke kamar dan menggelandang saya keluar kamar dan menaikkan ke mobil mereka. Mata saya ditutup, mulut dilakban sementara kedua tangan saya terborgol dengan erat.

Semua belenggu yang menyiksa saya akhirnya dilepas juga ketika saya didudukkan pada sebuah kursi. Saya di ruangan yang begitu luas, mirip sebuah ruang pengadilan. Ya, benar. Saya duduk di kursi pesakitan. Belum pulih benar kesadaran saya, tiba-tiba ada orang yang berbicara dengan sangat berwibawa.

“Sidang dibuka!” katanya, sambil mengetukkan palu di mejanya tiga kali. “Apakah benar Saudara yang bernama Suryatmojo alias Guskar alias Kyaine Blog?” ia bertanya kepada saya dengan mata yang mendelik. Saya gemetar ketakutan.

“Benar Yang Mulia,” jawab saya singkat. Mata saya tertuju pada tulisan di dinding di belakang orang berwibawa tersebut: MAHKAMAH NURANI.

“Apakah Saudara tahu kenapa didudukkan di kursi terdakwa itu?” ia bertanya lagi, kali ini sambil membetulkan letak kacamata bacanya.

“Tidak tahu Yang Mulia,” jawab saya jujur kepada orang yang menurut saya sangat mirip dengan Prof. Albus Percival Wulfric Brian Dumbledore, Kepala Sekolah Hogwarts yang terkenal itu. Rambutnya panjang sepunggung telah memutih, demikian juga dengan jenggot panjangnya. Orang yang mirip Albus Dumbledore ini rupanya seorang hakim di Mahkamah Nurani.

“Tuduhan serius untuk Saudara adalah …, “ kembali ia membetulkan letak kacamatanya, kemudian membuka catatannya, “Saudara tidak normal lagi memanfaatkan waktu yang ada hanya untuk main internet semata. Berdasarkan catatan Pengawas Nurani, Saudara telah menzalimi diri sendiri. Saudara tidak peduli dengan keluhan mata Saudara yang kelelahan memelototi layar monitor. Jari jemari Saudara pun bengkak-bengkak karena tiada henti memencet tuts keyboard. Belum lagi keluhan fikiran dan bagian tubuh Saudara yang lainnya. Ada yang jauh lebih serius lagi…”

Saya tidak tahan dan tidak terima dengan tuduhannya. Saya potong kalimatnya.

“Afwan Yang Mulia. Saya keberatan dengan tuduhan tersebut. Saya melakukan itu semua dengan enjoy, dengan senang hati. Meskipun aktivitas keseharian saya lebih banyak dengan internet dan ngeblog, saya masih sempat bersosialisasi dengan orang lain, juga mengerjakan tugas-tugas lain di dunia nyata keseharian saya!”

“Cukup. Di sini tidak untuk mendengar pembelaan yang tanpa saksi seperti itu. Saudara jangan berkelit. Kami mempunyai beberapa saksi kunci, di mana Berita Acara Pelaporannya sudah dicatat dengan sangat rapi oleh Pengawas Nurani!” mata Prof. Dumbledore semakin mendelik mendengar alasan yang saya kemukakan tadi.

“Saudara tahu apa itu Nurani?” tanyanya.

“Menurut pemahaman saya, Nurani adalah rekaman suara Tuhan yang disematkan di dalam hati setiap manusia. Ia akan memberikan peringatan dini ketika manusia akan melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran Tuhan. Bahkan ketika baru berupa niat saja, alarm Nurani akan berbunyi memberikan peringatan,” jawab saya.

“Bagus, Saudara tahu hal ini. Saudara dihadirkan di Mahkamah Nurani ini karena Saudara telah mengabaikan peringatan Sang Nurani,” kata Hakim Albus Dumbledore. Sejurus kemudian, ia mempersilakan Jaksa Penuntut Umum untuk menghadirkan saksi  di kursi yang telah ditentukan.

Saya luar biasa kaget, ketika mengetahui siapa saksi yang dihadirkan. Saya mengenalnya sangat dekat: sajadah warna biru yang selalu tergelar di mushola sempit di rumah saya.

“Hakim Yang Mulia. Kesaksianku adalah bahwa sejak ia sibuk dengan internetnya, kalau ia shalat kecepatannya melebihi waktu loading internetnya. Sangat cepat. Bagaimana ia bisa shalat secepat itu, bacaan apa yang dirapalnya? Sering ia terlambat dalam waktu shalatnya, bahkan tragisnya, ia shalat mendekati waktu pergantian shalat. Ia juga meniadakan shalat sunah yang biasa ia lakukan. Lihatlah di jidatnya! Tidak ada sama sekali tanda-tanda sujud. Jatuhkan hukuman padanya seberat-beratnya, Yang Mulia!” Sajadah mengakhiri kesaksiannya.

Saya tercekat, susah untuk berbicara. Apalagi ketika saksi kedua dihadirkan. Keringat dingin saya mulai bercucuran. Kitab Al Quran bersampul coklat wakaf dari Pelayan Dua Tanah Suci Raja Abdullah bin Abdul Aziz Ali Sa’ud yang saya terima tahun lalu itu ikut bersaksi.

“Afwan Yang Mulia Hakim. Nasibku lebih parah dibandingkan sajadah. Jangankan membacaku, menyentuh pun ia tak pernah lagi ia lakukan. Aku jadi heran, dulu ia begitu rajin membaca dan mengkajiku. Kini ia sibuk membaca dan mengkaji tulisan-tulisan di layar monitor laptopnya. Bahkan ia hapal dengan kalimat-kalimat ajaib milik sahabat-sahabat mayanya. Sedangkan kepada ayat-ayatNYA, surat-surat di Juz Amma pun sangat sedikit yang dihapalnya. Hanya surat qulhu saja yang sering dipakai di shalatnya!”

Saya tertunduk sangat malu. Tidak bisa berkata sepatah kata pun jua. Belum selesai rasa takjub saya kepada keterangan para saksi, Jaksa kembali menghadirkan saksi lainnya. Masya Allah, satu lagi saksi di luar perkiraan saya. Baju Koko Pakistan warna putih oleh-oleh Ibu saya yang dibelinya di Pasar Seng, tiga tahun lalu.

“Perkenankanlah aku bersaksi Hakim Yang Mulia. Sekarang ini aku cuma tergantung di lemari atau di balik pintu saja. Tidak pernah lagi ia mengajakku ke Masjid Nurul Iman untuk shalat subuh berjamaah. Ia selalu terlambat bangun. Ia selesaikan online-nya selepas tengah malam. Azan subuh berlalu, ia masih mendengkur di balik selimutnya. Jatuhkan hukuman padanya seberat-beratnya, Yang Mulia!” Baju Koko Pakistan mengakhiri kesaksiannya.

“Cukup, Yang Mulia. Jangan datangkan saksi yang lain. Saya mengaku salah. Tidak ada pembelaan!” kata saya lirih, sambil menunduk, tentu saja.  Saya yakin, pasti akan banyak lagi saksi yang akan dihadirkan. Saya tidak siap mendengar kesaksian mereka.

Hening sejenak.

“Setelah mendengar keterangan para saksi maka Hakim Mahkamah Nurani memutuskan … “ mata Hakim menyelidik ke arah saya. “Saudara dijebloskan ke Pesantren Nurani selama 3 x 24 jam waktu dunia nyata, tanpa fasilitas online sama sekali. Pengawas Nurani akan memantau aktivitas Saudara!” Tok… tok… tok… !!

Jumat dini hari. Saya terbangun. Segera saya matikan laptop, mengambil air wudlu untuk melaksanakan tahajud, yang sudah sekian lama saya tinggalkan.