Mahesa Jenar

Beberapa hari ini saya membaca raut muka seorang kawan agak bruwet. Baru hari ini saya berhasil ngobrol dengannya, sambil ngopi ditingkahi rinai hujan di luar sana. Wajahnya sudah agak cerah jika dibandingkan hari-hari yang lalu.

Ia bercerita tentang anak lanangnya, sebut saja namanya Mahesa Jenar.

Mahesa JenarĀ – kawan saya memberi nama kepada anak lanangnya itu terinspirasi dari SH Mintardja – tahun ini lulus SMA. Cita-citanya sejak SMP dulu ingin jadi prajurit bhayangkari negeri. Syahdan, begitu lulus SMA ia mendaftar jadi calon prajurit dengan restu bapaknya.

Tahapan tes ia lalui, hingga tes tahapan ketiga ia gugur. Sebelumnya ia sudah berpesan kepada bapaknya agar bertindak lurus-lurus saja, tanpa ada tindakan menyuap dengan jumlah uang tertentu yang dijanjikan orang yang katanya bisa meloloskan tes. Mahesa Jenar sikapnya biasa-biasa saja meskipun nggak lolos seleksi. Ia berharap tahun depan bisa ikut tes lagi.

Untuk mengisi waktu, ia minta kepada bapaknya untuk diizinkan masuk Fak. Hukum, di sebuah universitas swasta. Cita-cita mulianya adalah menjadi penegak hukum yang jujur dan lurus. Bapaknya menuruti keinginan Mahesa Jenar.

Beberapa waktu yang lalu, Mahesa Jenar mendengar ada penerimaan calon praja. Ia mendaftar. Berdasarkan pengalaman ikut seleksi calon prajurit bhayangkari kemarin, ia lolos di beberapa tahapan seleksi. Bapaknya senang betul dengan perkembangan yang terjadi.

Diam-diam bapaknya kasak-kusuk mencari koneksi. Ya, ia bertemu dengan seseorang yang dapat meloloskan anaknya masuk sekolah calon praja. Terjadi kesepakatan nominal yang harus dibayarkan.

Ia dan istrinya pergi ke bank untuk mendapatkan pinjaman. Uang pun dibayarkan ke seseorang yang dapat meloloskan segala tes.

Mahesa Jenar akhirnya mengetahui apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Dan ia pilih mundur dari seleksi calon praja. Ia menegaskan kepada bapaknya, apa jadinya negeri ini jika para prajanya sudah main suap sejak masuk sekolah?

“Aku malu betul, Mas. Seperti ditampar anak sendiri,” ujar kawan saya.

“Terus, uang utangan yang kadung amblas itu ya yang membuat sampeyan stres?” saya menduga-duga.

“Betul, Mas. Tapi kata-kata anakku membesarkan hatiku,” jawabnya.

“Apa itu?” tanya saya penasaran.

Kawan saya itu berkata kepada Mahesa Jenar, kalau tiga tahun lagi ia pensiun yang artinya ia akan kesulitan membayar cicilan sisa utang ditambah masih membiayai kuliah anaknya.

“Nanti utang bapak saya yang bayar. Itu kata anakku!” kata kawan saya.

Saya membesarkan hati kawan saya kalau ia harus bangga punya anak seperti Mahesa Jenar. Mestinya ia sengaja memberikan nama Mahesa Jenar dengan segala harapan dan doa, semoga anaknya itu seperti Mahesa Jenar, seorang prajurit Kerajaan Demak yang pilih tanding, terkenal dengan sikap ksatrianya, tegas dan menjujung tinggi kejujuran.

Sikap anak muda ini seperti terjadi di negeri dongeng, sejatinya ini kisah nyata.