Cerita tentang sarung

Dalam salah satu bukunya, pak Dahlan Iskan memberi catatan tentang definisi sarung yakni sebuah benda ajaib di mana ia memiliki fungsi-fungsi (1) untuk beribadah, (2) untuk menghadiri acara kondangan, (3) untuk selimut pas tidur, (4) untuk mengikat perut ketika lapar, (5) digunakan sebagai popok atawa tambal pakaian, dan (6) untuk digunakan sebagai karung untuk menaruh barang ketika panen, misalnya padi.  Betul, sarung memang benda ajaib. Konon, sarung lahir dari negeri Yaman kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia.

Berbagai bangsa menggunakan sarung dengan aneka jenis corak dan bahan, semuanya mewarnai adat istiadat daerah setempat. Pun di Nusantara ini. Aneka sarung terbentang dari ujung barat sampai wilayah Nusantara paling timur.

Saya mulai punya sarung sendiri seingat saya waktu di SD. Corak sarung saya batik, mirip kain panjang yang sering dipakai oleh perempuan Jawa. Selain untuk shalat, sarung tersebut saya pergunakan untuk main ninja-ninjaan. Sarung ditutupkan di kepala hingga hanya terbuka di bagian mata. 

Ketika saya disunat mendapatkan hadiah sarung baru. Coraknya kotak-kotak. Bahannya bukan berupa kain katun, soalnya kalau kelipat bekasnya susah dikembalikan ke posisi semula. Mesti disetrika. Kalau lipatan-lipatan dibiarkan akan mirip lipatan wiron, dipakai berjalan lipatan-lipatan tersebut akan mentul-mentul. Itu loh, mirip akordion.

Saat ini, sarung saya fungsikan hanya untuk shalat saja. Untuk shalat di rumah atawa berjamaah di mesjid perumahan. Jamaah mesjid di tempat saya mayoritas menggunakan sarung dipadupadankan dengan baju koko.

Nah, kalau kebetulan saya mendapatkan shaf belakang, shalat saya kurang khusuk, soalnya di hadapan saya berderet aneka macam merk sarung yang mau tak mau mata saya melihatnya dan, tentu saja, membacanya satu-persatu: gajah duduk, mangga, wadimor, atlas, behaestex, sapphire atawa pohon kurma.

Entah siapa yang memulai mengenakan sarung dengan memperlihatkan merek yang memang sengaja ditempel oleh produsen sarung.