Kisah lahirnya si Rebkli

Usia kehamilan istrinya memasuki tujuh bulan. Lelaki yang suka berbaju krem, yang tak lain suami dari perempuan yang hamil tujuh bulan itu, segera mempersiapkan acara tingkeban/mitoni – tujuh bulanan masa kehamilan anak pertama. Sebagai orang Jawa lelaki itu berpendapat kalau ritual tingkeban rasanya lebih afdol dilakukan meskipun dengan cara yang sederhana. Apalagi anak yang dikandung istrinya itu akan menjadi cucu pertama, baik dari keluarganya maupun keluarga istrinya.

Dengan dukungan penuh dari keluarga besarnya, acara tingkeban pun dipersiapkan. Ada tiga ritual inti dalam tingkeban, yaitu bancakan, siraman dan ganti kain/pakaian. Untuk bancakan yang dipersiapkan seperti tumpeng urap, urapnya 7 macam, jajan pasar palawija dan buah masing-masing 7 jenis, nasi kuning lauknya 7 macam, rujak dengan 7 macam buah, dan dawet. Nasi dan rujak ditempatkan pada sebuah takir (semacam mangkok yang dibuat dari daun pisang) ditempatkan pada layah (semacam piring dibuat dari tembikar) dengan dihiasi warna-warni makanan, juga jarum dan benang.

Lalu untuk acara siraman dipersiapkan jajan pasar satu tampah/nyiru lengkap, tumpeng robyong menggunakan cething/bakul bambu, satu ekor ayam (hidup), siwur/gayung dari batok kelapa, kembang 7 warna, air dari 7 mata air/sumur, cengkir/kelapa sangat muda. Kemudian para ibu sepuh yang berjumlah 7 bertugas menyirami istrinya yang hamil tadi. Para ibu sepuh adalah terhitung nenek atawa budhenya.

Selesai siraman, cengkir tadi dimasukkan ke dalam kain istrinya yang hamil, brojol dari atas ke bawah hal ini dimaksudkan supaya sang bayi lahir dengan cepat. Lelaki itu kemudian membelah cengkir, airnya diminum oleh istrinya. Ketika lelaki membelah cengkir, konon tidak terbelah secara sempurna.

Ritual berikutnya, istrinya yang hamil tadi berganti 7 kain, yang terdiri dari kaun teruntum, agar beruntun rejekinya, kain sida mukti, agar mukti hidupnya, kain wahyu temurun, agar kejatuhan wahyu, kain semen rantai, agar berturut-turut rejekinya, kain sida mulya, agar mulia hidupnya, kain babon angrem, kelahiran si jabang bayi nanti secepat ejakulasi bapaknya, dan kain lurik tumbar pecah, agar bayi lahirnya gampang, pecah kawah/ketubannya, terus si bayinya keluar mengikutinya dengan selamat.

Ritual selesai ditutup dengan doa keselamatan dan dilanjutkan dengan menikmati bancakan.

Dua bulan kemudian, di rumahnya yang sederhana lelaki yang suka berbaju krem itu menunggui istrinya yang perutnya mules-mules sejak datangnya maghrib. Menjelang tengah malam semakin jelas tanda-tanda kelahiran anak pertamanya. Dan benar saja, ketika jarum jam menunjuk angka tiga dinihari, sang bayi lahir dengan dibantu seorang bidan.

Anak pertama pasangan suami-istri itu laki-laki. Sesuai dengan prediksi saat tingkeban dua bulan sebelumnya: cengkir tidak terbelah secara sempurna.

“Siapa nama anak pertama kita ini, mas?” tanya istrinya.

“Rebkli, jeng,” jawab lelaki itu. “Karena ia lahir di Rebo Kliwon!”