Keluar Dari Tempurung

Pagi hari ketika saya membersihkan mobil, seekor semut masuk ke mobil saya. Sebut saja namanya si Semyood. Indera penciumannya lumayan peka dalam mengendus adanya remah-remah makanan di jok mobil. Tidak lama kemudian saya berangkat ke Bandung. Sementara saya sibuk dengan mengemudikan mobil saya, Semyood di jok belakang duduk manis mengelus-elus perutnya yang kekenyangan.

Tujuan pertama saya ke Gasibu, sarapan bubur ayam kemudian ke BSM, lalu ke factory outlet di RE Martadinata, terakhir nonton film di BIP. Petang hari saya sudah berada kembali di rumah.

Semyood keluar dari mobil, sampai di dekat liangnya dia telah ditunggu oleh teman-temannya.

“Sem, dari mana saja kamu. Sejak pagi kami mengkuatirkan keadaanmu,” kata salah satu temannya.

“Aku baru saja pulang dari Bandung, jalan-jalan ke Gasibu, ke mall, belanja di factory outlet dan nonton film,” Semyood pun menceritakan pengalaman hari itu.

Ada yang takjub dan tidak sedikit dari temannya yang tidak mempercayai cerita Semyood. Salah satu dari mereka menanggapi cerita Semyood, “Mustahillah itu, Sem. Bandung itu kan jauuuuhhh…sekali. Kamu baru jalan beberapa ratus meter saja pasti sudah KO. Ini malah mengarang pergi ke Bandung. Jangan bermimpi, ah!”

Semyood sedang tidak bermimpi, dia telah benar-benar pergi ke Bandung. Saya saksinya.

Peristiwa di atas terjadi dua tahun lalu. Kejadian itu telah memberikan satu pelajaran berharga bagi saya. Semyood yang sehari saja keluar dari lingkungan pergaulan persemutan ke pergaulan manusia, telah mempunyai pengalaman yang luar biasa.

Syahdan, saya pun segera keluar dari tempurung, dan mulai bergaul dengan orang-orang yang hebat agar virus mereka menular ke saya. Dunia di luar tempurung saya ternyata luas sekali.