Kala dan Janma Sukerta

Entah kenapa, sore itu Bathara Guru mengajak Dewi Uma berjalan-jalan. Bukan jalan-jalan di taman kahyangan, tempat bersemayamnya mereka selama ini, suami istri itu menaiki sapi kesayangan Bathara Guru yang bernama Lembu Andini mengitari jagat raya sembari menyaksikan sekar langit di senja hari.

Pada sebuah gugusan awan nan indah, Bathara Guru menghentikan Lembu Andini. Ia turun dari pungggung Andini berwarna putih dan meminta kepada Dewi Uma tetap berada di atas punggung sapi kesayangan para dewa itu. Dengan latar belakang semburat warna merah matahari, Bathara Guru memandangi kecantikan istrinya. Keelokan paras yang sempurna milik bidadari, tentu saja.

Semakin lama memandangi istrinya, timbul birahi Bathara Guru. Ia mengajak bersenggama istrinya saat itu juga, namun Dewi Uma menolak dengan alasan ora ilok, mosok ngonoan kok di tempat umum. Ntar malu dilihat makhluk lain yang kebetulan lewat.

Sayangnya, hasrat yang menggebu harus dituntaskan segera. Bathara Guru ndak perduli sama sekali. Persenggamaan itu terjadilah. Bathara Guru hampir mencapai orgasmenya, ketika Dewi Uma mendorong tubuh suaminya dan terlepaslah pelukan Bathara Guru. Maka, air cinta milik Bathara Guru muncrat dan tumpah kemudian jatuh ke lautan yang ada di bawah mereka.

Begitu tetesan air cinta yang terakhir mencapai laut, ombak bergulung hebat. Deburannya sangat dahsyat dan dari dalamnya keluar raksasa yang sangat besar.

“Lihatlah, anak kita telah lahir. Aku memberinya nama Kala!” ujar Bathara Guru kepada Uma.

Meskipun Kala merupakan anak dewa-dewi kahyangan, ia berujud raksasa buruk rupa. Perwujudan Kala akibat hubungan senggama yang ora ilok, tak pantas.

Kala tumbuh menjadi raksasa yang ganas dan liar. Hobinya memakan manusia. Tak sembarang manusia yang dimangsanya. Hanya manusia golongan janma sukerta saja yang menjadi kudapannya.

Golongan janma sukerta: ontang-anting, anak tunggal/tak bersaudara; wungkus, anak lahir dalam keadaan terbungkus; wungkul, anak lahir tanpa tembuni/ari-ari;  tiba sampir, anak lahir berkalungkan usus; tiba ungker, anak lahir terbelit usus atau sakit tidak dapat menangis; jempina, anak lahir sebelum waktunya/premature; margana, anak lahir di tengah perjalanan; wahana, anak lahir di tengah keramaian; julungwangi , anak lahir saat matahari terbit; julungsungsang, anak lahir tepat tengah hari; julung sarab/julung macan/julung caplok, anak lahir menjelang matahari terbenam; julung pujud, anak lahir waktu matahari terbenam; siwah, anak lemah mental; kresna, anak berkulit hitam legam;  wungle, anak berkulit bule; walika, orang berbadan kerdil; bungkul, orang bungkuk sejak lahir;  wujil, orang cebol; gedhana-gedhini, dua bersaudara laki-laki dan perempuan; kembar, anak lahir bersamaan sehari, laki-laki semua atau perempuan semua;  dhampit, anak lahir bersamaan sehari, laki-laki dan perempuan;  gondhang kasih, anak lahir kembar, yang satu bule yang satunya hitam; tawang gantungan, anak kembar, tetapi lahirnya berselisih hari; sakrendha, anak lahir bersamaan sehari sekaligus dua atau lebih dalam satu bungkus; sekar sepasang, dua perempuan bersaudara; dan, uger-uger lawang, dua laki-laki bersaudara.

Tak ada manusia yang mampu menghentikan keganasan Kala. Bathara Guru gelisah memikirkan polah tingkah anaknya itu, maka ia turun ke bumi dan menyamar sebagai seorang dalang. Arkian, terjadi pertemuan bapak dan anak. Kala takluk dan bersedia tinggal di tengah hutan dengan satu syarat. Sebuah syarat yang disetujui oleh Bathara Guru.

Kala akan melanglang buana di senja hari mencari janma sukerta yang belum pernah diruwat oleh seorang dalang.