(Jangan) berhenti merokok!

Hari ini, 31 Mei  2012 diperingati sebagai Hari Tanpa Tembakau Dunia. Di beberapa kesempatan terdengar himbauan kepada para perokok untuk sementara menghentikan kegiatan isap-mengisap kretek atawa membebaskan lingkungan sekitar dari asap rokok.

Apa bisa? Pertanyaan pesimis ya? Tak semua perokok tahu kalau ada Hari Tanpa Tembakau, apalagi para simbah di desa-desa, baik mbah kung maupun mbah uti, yang saban hari ngudud atawa nginang. Pun dengan para petani tembakau. Hari tanpa tembakau berarti “kiamat” penghidupannya.

Di PustakaRona edisi kali ini, saya akan merisalahkan perkara di atas dari buku yang berjudul Kretek Jawa Gaya Hidup Lintas Budaya oleh Rudy Badil yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (2011) setebal 172 halaman. Membaca buku edisi lux ini seperti membaca sejarah bangsa dari sudut kretek.

Tumbacco dari Portugis.

Titik awal tradisi menikmati asap rokok tembakau di Indonesia, bermula saat penduduk negeri ini mulai berkenalan dengan tembakau (Nicotiana tabacum). Demikian pendapat sinolog G. Schlegel (dalam Budiman dan Onghokham, 1987 : 80) bahwa tembakau bukanlah jenis tanaman endemik Nusantara, melainkan berasal dari Benua Amerika. Istilah “tembakau” tidak didapatkan dalam sumber data tua, sebelum kedatangan Bangssa Barat pada akhir abad XV. Kalau pun kini di Jawa terdapat sebutan lokal untuk tanaman ini, yaitu bako atawa mbako, tapi jelas sebutan itu adalah serapan dari kata Portugis tobacco atawa tumbacco.

Bagaimana dengan nikotin? Nama nikotin yang menyertai tembakau justru muncul di Perancis, ketika Jean Nicot De Villemain tahun 1558 membawa biji-biji tembakau ke negerinya untuk tanaman obat dan mempersembahkan kepada Raja Frans II untuk obat sakit kepala. Setelah itu tahun 1615 tanaman tembakau juga dinamakan “nicotina”.

Temanggung, kota kabupaten sejuk di tengah-tengah provinsi Jawa Tengah, terkenal sebagai produsen tembakau unggul sejak dulu.  Memiliki luas areal penanaman sampai 13.500 hektar. Tak hanya Temanggung, tembakau juga tersebar di berbagai daerah seperti Kedu, Malang, atawa daerah Priangan, setelah “cultuurestelsel” Belanda tahun 1830. Maka sejak itu penanaman berbagai jenis tembakau, dilakukan di Indonesia untuk pasaran Eropa.

Mari bicara sedikit tentang kretek atawa rokok.

Tak banyak penikmat rokok yang tahu tentang srintil. Kebanyakan hanya tahu nikmatnya rokok karena adanya paduan tembakau, cengkeh, dan saus saja. Ketiga bahan baku itu memang formula dasar, selain ada kekhususan tersendiri dalam pemilihan tembakau yang dipakai. Srintil atawa tembakau “lauk” dengan kadar nikotin 3-8 persen, menjadi salah satu campuran penting dalam pembuatan rokok. Saking istimewanya, harganya dapat mencapai Rp 700.000 per kg, jauh di atas rata-rata tembakau biasa yang harganya hanya Rp 60.000 per kg.

Kata rokok, yang serapan istilah ro’ken dalam bahasa Belanda, jelas tak dijumpai dalam susastra masa Hindu-Buddha. Namun, istilah lain yang terkait dengan rokok, yaitu mangudud (mengisap), tertera dalam kakawin Smaradahana di dalam kalimat “saksat guguh makemilan mangudud kapundung (tampaklah orang tua tak bergigi dengan kantong pipi menonjol mengisap dengan riuh rendah). Selain itu terdapat kata ududan (bahan-bahan untuk rokok) di dalam kalimat “wong anglampit saududan (orang membawa gulungan untuk bahan rokok)” pada kitab Sri Tanjung.

Kedua kata jadian itu memiliki kata dasar udud. PJ Zoetmulder (1995 : 1309) mengartikan kata itu dengan rokok, disertai catatan pertanyaan “apakah ada hubungannya dengan istilah ngudud dalam bahasa Jawa Baru yang berarti merokok?” Jika benar keduanya terkait dengan rokok, berarti rokok ataupun tradisi merokok telah ada setidaknya pada masa Kerajaan Kadiri (VIII Masehi), ketika Smaradahana dituliskan. Pada kata jadian mangudud (mengisap) tergambar bahwa merokok adalah suatu kegiatan mengisap sesuatu. Sayang, sumber data tekstual itu tidak menginformasikan apa yang diisap.

Buku ini juga memaparkan sejarah rokok kretek di beberapa daerah industri rorok di seluruh Indonesia seperti Kudus, Kediri, Malang, Surabaya dan lain-lain dengan disertai gambar-gambar logo dan slogan iklan rokok dari tempoe doeloe sampai sekarang. dan kehidupan para pengelinting rokok. Anda juga akan mendapatkan pengetahuan asal-usul nama/merk rokok bahkan untuk mendapatkannya harus bertapa di Gunung Kawi. Sangat menarik.

Buku lain yang bisa menambah wawasan mengenai seluk-beluk perkretekan ada di Gadis Kretek atawa jika ingin tahu pendapat para perempuan mengenai kretek silakan baca buku Perempuan Berbicara Kretek.