“Kalau orang pinter diberi satu, akan minta dua. Kalau orang bodoh diberi satu, akan disyukuri”
~mBah Marijan, 1996~
Impian itu adalah Tanda. Kode. Tanda Merapi bisa diterima dari suasana, atau dari impian. Mungkin seperti saya, dalam mimpi saya diberi payung.
Tahun 1973, saya naik ke Gunung Merapi, malam hari saya tidur di Kendit. Pada saat itu saya belum menjadi Juru Kunci. Dalam tidur, setengah tidur, saya didatangi seorang perempuan cantik, namanya Nyai Gadung Melathi dan diberi dingklik. Di dalam mimpi itu, saya berada di dalam kawah. Kawah itu seperti ruangan luas penuh dengan kursi-kursi yang ditata rapi, ada pintu gerbang hijau yang tertutup, pintu masuk ke Istana Merapi. Ketika saya sampai di situ, saya tidak boleh duduk di kursi tapi duduk di bawah dengan alas permadani dan bantal. Jalan masuk ke ruangan yang luas tersebut dijaga oleh seorang petugas yang duduk di kursi menghadap meja yang di depannya ada sebuah buku.
Di tempat itu, di Kendit Merapi, saya tidak bisa tidur, hujan terus sampai jam satu malam, hujan tidak hanya rintik-rintik, tapi deras sekali. Ketika saya naik gunung, sudah diiringi hujan, persis di belakang saya.
Kalau dilihat secara mata batin, hujan tersebut adalah pengawal dari Laut Selatan, dari Istana Ratu Kidul. Mereka seperti menjaga Kali Krasak, sebuah sungai yang sering digunakan untuk lewat lahar, gambaran dalam mimpi merupakan jalan besar yang menuju Laut Selatan. Dan di situ seperti ada alun-alun dan tentara berjajaran, banyak orang seperti di tempat penantian. Waktu itu, ayah saya masih hidup dan dia membakar kemenyan di situ untuk prajurit yang lapar. Dan ayah saya memberi nasihat: “Kalau naik ke atas, jangan berpegangan pohon besar, tapi dengan pohon yang kecil pun bisa sampai ke atas.”
Pada bulan Nopember, tahun 1994, yang saya temui adalah orang tua, adalah Mbah saya sendiri, juga bersamaan dengan itu ada orang-orang tinggi berkulit kuning, bersih, orang bagus. Dan orang tadi berkata begini: “kami punya uang, silakan dibagi.” Maksudnya, dalam bahasa Jawa: “aku duwe dhuwit dum na” (aku punya uang bagikan). Tapi artinya tidak seperti itu. Yang dimaksud dhuwit adalah “arta” sama dengan warta, “kabar”. Jadi saya disuruh memberi tahu bahwa Merapi akan berbahaya. Keesokan hari, jam 10 siang, benar… terus ada letusan. Waktu itu, saya ada di lereng, sedang membetulkan jalan yang akan dilewati pada upacara Labuhan. Terus, di depan saya, tepat sekali ada wedus gembel, kabut panas yang menghadang, lalu saya berdoa begini: “salam mualaikum, salam mualaikum”, beberapa kali. Tiba-tiba, terus ada angin yang menolak balik kabut panas itu. Terima kasih, syukur pada Tuhan, di sini masih diberi keselamatan.
Begitu terus ada cerita macam-macam, berita bahaya dari perkiraan Dokter Gunung. Di tempat saya ini, ada surat kabar yang isinya tempat ini harus diamankan, karena bahaya, dan orangnya harus diungsikan atau dipindah. Terus saya menulis surat kepada Kanjeng Sinuwun (sebutan Sultan), saya mohon begini: “Saya mohon kebijaksanaannya, supaya Kinahrejo aman-tenteram, tidak diusik oleh pemerintah, untuk pindah. Juga mohon kepada Tuhan di Kinahrejo diberi keselamatan.”
Sinuwun juga setuju, dan dhawuh: “Kalau tidak saya yang menyuruh pergi… jangan pergi.”
~oOo~
Artikel di atas saya kutip dari buku Merapi Omahku yang ditulis oleh Elizabeth D. Inandiak (penerjemah Serat Centhini) dengan ilustrasi buku oleh Heri Dono. Seperti ditulis oleh Elizabeth D. Inandiak dalam buku ini mBah Marijan menyatakan pikiranya dengan menggunakan bahasa Jawa, meskipun sebenarnya ia bisa berbahasa Indonesia. Namun bahasa Jawa adalah bahasa batinnya, impian-impiannya, bahasa Gunung Merapi.
Buku Omahku Merapi ini diterbitkan oleh Babad Alas (Yogyakarta), Desember 2010 setebal 91 halaman. Selain menceritakan impian mBah Marijan, buku ini membeberkan mitos Beringin Putih yang tumbuh di puncak Merapi, sebuah kisah persahabatan antara manusia dan alam yang diuji lewat godaan dan pengorbanan. Mitos itu bukan sekedar dongeng. Bumi Merapi adalam rahim, rumah dan kafan.