Ike Mese: perang akibat gagalnya diplomasi

Kapal-kapal kami baru saja meninggalkan Pelabuhan Tuban untuk menuju ke negara kami nun jauh di sana, Kekaisaran Mongol. O iya, perkenalkan nama saya Meng Khi, asisten pribadi Jenderal Ike Mese salah satu dari tiga pemimpin ekspedisi Mongol ke Tanah Jawa.

Saya sendiri pernah datang ke Tanah Jawa, sekitar 3 tahun yang lalu. Saya mendapatkan titah khusus dari Kaisar Kubilai – ia terkenal dengan sebutan Kubilai Khan, untuk datang ke Tanah Jawa menyampaikan pesan Kubilai Khan untuk raja Jawa. Kejayaan Kerajaan Singasari yang dipimpin oleh Kertanegara terdengar sampai ke telinga Kubilai Khan, sehingga ia ingin menaklukan Singasari ke bawah duli Khan Agung kami tersebut.

Tapi apa daya, pesan yang saya sampaikan mendapatkan penolakan dari Kertanegara. Lihatlah wajah saya. Hidung saya tidak utuh, telinga kiri buntung. Semua itu ulah dari Kertanegara, ketika saya sampaikan pesan Kubilai Khan supaya tunduk dan takluk kepada Kekaisaran Mongol dengan cara memberikan upeti rutin saban tahunnya. Ia marah dan mengiris hidung dan telinga saya.

Kubilai Khan sangat murka ketika saya melaporkan misi yang saya emban ke Tanah Jawa. Ia tidak terima utusannya dihina sedemikian rupa. Ya, sejak saat itu saya menjadi rendah diri jika berhadapan dengan orang lain karena hadiah buruk rupa yang saya terima dari Kertanegara.

Ia memanggil Ike Mese, Kau Hsing dan  Shih Pi, para jenderal kepercayaannya. Titahnya sangat jelas: bunuh Kertanegara, si Raja Jawa. Tanpa saya duga, Jenderal Ike Mese mengajak saya kembali ke Tanah Jawa, untuk mendampinginya.

“Apa yang sedang engkau lamunkan, Meng Khi?” tanya Ike Mese kepada saya yang sedang duduk di buritan kapal.

Saya masih memandang ke arah cakrawala, ketika tangan Ike Mese menyentuh pundak saya.

“Khan Agung pasti akan murka lagi. Sebab kita pulang ke Mongol tidak membawa kepala Raja Singasari,” kata saya terdengar sengau, akibat hidung saya yang tidak utuh lagi.

***

Sekitar 4 bulan lalu kami tiba di Tanah Jawa. Sebagai penunjuk arah, saya membawa Jenderal Ike Mese dan lima kompi pasukan ke arah Kerajaan Singasari. Tetapi, betapa terkejutnya kami saat mengetahui kondisi keraton milik Kertanegara telah luluh-lantak, rata dengan tanah dan ditumbuhi belukar. Kemegahan keraton yang saya masuki 3 tahun lalu tiada bersisa wujudnya. Jenderal Ike Mese sempat marah kepada saya, yang dikira mengarang cerita belaka kalau saya pernah datang ke tempat ini.

Untungnya telik sandi yang diperintahkan oleh Jenderal Shih Pi datang menghadap dan memberitahukan kalau setahun yang lalu Kertanegara dan keluarganya dibantai oleh pasukan Jayakatwang yang merupakan besan Kertanegara. Telik sandi juga memberikan informasi, kalau mendiang Jayakatwang mempunyai pewaris tahta yakni Raden Wijaya yang sekarang berkedudukan di Majapahit, sebuah wilayah hutan Tarikh yang baru saja dibuka oleh Raden Wijaya dan para tentaranya.

Kami segera berangkat ke Majapahit untuk menangkap Raden Wijaya dan membawanya ke Mongol. Sampai di hadapan Raden Wijaya, ia masih mengingat saya dengan baik. Saya pun menyatakan maksud kedatangan pasukan Mongol ke Tanah Jawa.

Raden Wijaya tidak terkejut. Malah ia memberikan syarat: ia sukarela dibawa ke Mongol, asal pasukan Mongol membantunya menyerang Jayakatwang untuk membalaskan dendam atas kematian Raja Kertanegara. Ketiga Jenderal Mongol berembuk, dan menyetujui persyaratan yang diajukan Raden Wijaya.

Sebanyak 10.000 tentara Mongol yang berada di Tanah Jawa dikerahkan menyerang Jayakatwang Raja Kadiri. Sangat mudah bagi Mongol mengalahkan pasukan Jayakatwang. Pasukan Mongol berpesta-pora merayakan kemenangannya. Jayakatwang sendiri menjadi seorang tawanan pasukan asing yang datang ke negerinya.

Pada saat pasukan Mongol lengah seperti itu, Raden Wijaya memanfaatkan situasi. Ia perintahkan tentara-tentara terbaiknya untuk menyerang pasukan Mongol. Karena kelelahan dan tidak menguasai medan pertempuran, pasukan Mongol berhasil dipukul mundur ke arah Pelabuhan Tuban.

Ike Mese segera membaca situasi, dan mengambil keputusan menarik semua tentaranya untuk segera kembali ke kapal dan pulang ke negeri Mongol. Saya terkejut dengan keputusan Jenderal Ike Mese, kenapa ia menyerah begitu saja. 

***

“Khan Agung tidak akan marah, Meng Khi. Bukankah di kapal kita ada Jayakatwang dan anaknya yang menjadi tawanan kita?” ujar Ike Mese.

Iya, saya baru ingat. Pada saat Jenderal Ike Mese memerintahkan kami segera mundur, Jayakatwang dan anaknya dibawa serta ke atas kapal kami oleh pasukan elit Mongol.

Bersambung…