Dalam dunia kehidupan ada dua macam ibu. Pertama, ialah sebutan untuk perempuan yang melahirkan anaknya. Kedua, ialah sebutan untuk perempuan yang merelakan kebahagiaannya sendiri buat anak orang lain. Yang paling istimewa adalah jika dua sifat itu bergabung dalam satu pribadi.
Aku bisa bercerita, karena aku memiliki.
Cerita ini tak perlu membuat cemburu, karena semua orang di dunia ini mempunyai ibu. Dalam cerita wayang, kera sakti bernama Anoman pernah menelan matahari karena bingung menentukan siapa ayahnya, tetapi tak ragu memastikan siapa ibunya.
Aku memiliki, dan ia kupanggil Ibu.
Ibu tak berbeda dengan ibu-ibu yang lain. Perempuan dengan naluri untuk berbuat baik. Perempuan yang mencintai kita sepenuhnya, dan tak menjadi cemas jika kita tiba-tiba mencintai perempuan lain. Itulah mungkin perbedaan seorang ibu dengan seorang istri.
Seorang ibu merelakan anak lelakinya mencari perempuan untuk diperistri, akan tetapi seorang istri akan merasa aneh jika suaminya mencari ibu baru.
Satu lagi kelebihan Ibu. Kalau marah, ia tak membuatku merasa salah. Kala aku belajar merokok dengan daun singkong kering yang dibalut kertas Koran di kebun, ia langsung menjewer telinga tanpa membuatku merasa berdosa.
“Jangan ulangi!”
Itu saja. Hanya Ibu yang bisa berkata seperti itu. Seorang polisi atau jaksa yang menangkap koruptor tak akan bisa bersikap seperti Ibu. Mana mungkin seorang istri yang menangkap suami tidur sama babu, memperingatkan, tanpa membuat pelakunya merasa rendah, salah, berdosa sekali.
Barangkali dunia lebih aman jika ada sebutan ibu dan bukan sebutan lain. Akan tetapi sejak kecil tak pernah terlontar, “Jadilah ibu yang baik.” Melainkan, “Jadilah istri yang baik.” Tentu saja Ibu juga tidak mengajarkan begitu.
Waktu Solemah, kakakku yang sulung, ditaksir seorang prajurit Angkatan Laut, Ibu langsung merencanakan perkawinan. Pesta yang dahsyat dan dengan tepat menggambarkan keunggulan Ibu sebagai administrator, organisator, dan tukang sulap sekaligus. Mengatur kurang-lebih pertemuan seribu tetamu, menyiapkan segala macam peniti, kemenyan, undangan, dan pesta hingga selesai. Tukang sulap yang lihai karena apa yang menjadi isi rumah lenyap sebulan setelah pesta usai.
Tapi Ibu tersenyum. Tak sebaris pun kelelahan terlihat di ujung rambutnya. Padahal Solemah adalah pahlawan dalam keluargaku. Ia paling sulung, paling bisa memandikan adik-adiknya, termasuk aku. Tiba-tiba saja ia harus pergi ke Surabaya.
Ibu memberikan semua sumbangan yang diterima pada Solemah. Lalu menangis. “Ibu tak bisa memberi apa-apa. Hati-hatilah di rantau.” Itu saja. Selebihnya adalah segala macam dandang, kompor, piring bekas, pisau, batu penumbuk sambel, sapu, minyak tanah.
“Kau akan memerlukan nanti. Percayalah sama Ibu.”
Aku tak bisa mengerti. Bagaimana mungkin seluruh isi rumah dikuras habis, tapi Ibu tetap bilang, “Ibu tak bisa memberi apa-apa.” Bagaimana mungkin Ibu memberikan kain batik yang ia sendiri perlukan. Bagaimana mungkin tiba-tiba melepaskanSolemah pergi darinya, begitu saja. Keringat Ibu belum kering ketika memandikan, menyuapi, mencebokinya, dan kini tiba-tiba ia menjadi istri orang. Terlepas, terbang, lenyap, entah mana yang paling tepat.
Tapi Ibu malah bersyukur. Katanya, “Setidaknya satu anak telah menjadi dewasa. Tinggal delapan.”
Ibu tidak mengatakan masih delapan anak, tetapi mengatakan tinggal delapan.
Optimisme luar biasa.
Kalau aku mencoba menanyakan kenapa Ibu bersikap baik seperti itu, Ibu tak bisa menjawab dengan kata-kata jawaban. Bahkan kadang mengubah pertanyaan itu menjadi dongeng.
“Kaulihat burung merpati itu? Kaulihat induknya? Makanan yang dicari dengan susah di tempat jauh, yang sudah masuk dalam paruhnya pun diberikan kepada anaknya.”
Semua diceritakan tanpa kebanggaan. Tanpa dibebani bahwa induk merpati menjadi burung yang paling berjasa.
Ibu adalah induk merpati, tetapi juga induk harimau. Yang dalam keadaan paling lapar dan marah sekalipun tak akan memangsa anaknya.
Lama aku menyadari bahwa Ibu menjadi merpati, juga bagi anak merpati lain. Bahwa Ibu menjadi harimau, juga untuk anak harimau yang lain. Kalau mungkin aku ingin kawin dengan Ibu. Padanya aku tak pernah sangsi bahwa aku mencintainya, dan padanya aku tak pernah sangsi bahwa ia mencintaiku.
Artikel Ibu, induk merpati di atas ditampilkan dalam bab paling awal dari novel Arswendo Atmowiloto “Dua Ibu” yang beberapa hari lalu saya khatamkan membacanya. Seperti novel Arswendo yang lain, Dua Ibu sangat enak dinikmati. Novel setebal 304 halaman ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (Juni, 2009), yang dikirimkan oleh kerabat dekat saya disertai sebuah catatan “Semoga belum ada di perpus Padeblogan”, dengan sebuah tulisan tangan yang lumayan rapi tertanggal 19.03.10. Buku ini telah melengkapi koleksi buku karya Arswendo Atmowiloto yang lain seperti Senopati Pamungkas, Canting, Sudesi , Dewi Kawi, Horeluya, Blakanis, Brojo & Projo, 3 Cinta 1 Pria, dan Kau Memanggilku Malaikat.