Awal kebanggaan saya kepada sosok seorang tentara Republik Indonesia, ketika Pakde saya datang ke rumah. Namanya Sugiman – pangkatnya apa saya nggak paham, dan kami memanggilnya Pakde Giman. Saat itu saya kelas 5 atawa 6, saya agak lupa.
Pakde Giman yang berseragam lengkap datang ke rumah adiknya (ibu saya) membawa oleh-oleh kurma dan berbagai macam kartu pos bergambar piramida dan sphinx. Ya, Pakde Giman pulang dari lawatan sebagai Pasukan Garuda VIII (entah Pasukan Garuda VIII/8 atawa yang VIII/9) yang ditugaskan di Timur Tengah.
Gagah nian ia! Kumis tebal yang melintang di atas bibirnya menambah kewibawaannya. Saya masih ingat ia mengenakan sweater wool warna hijau, lalu dilepasnya sweater itu dan nampak seragam lorengnya.
“De, boleh saya pegang pistolnya?” pinta saya. Ia segera mengeluarkan peluru di pistol itu. O, berat sekali pistol itu.
“Di Mesir De Giman nembak musuh nggak?” tanya saya lugu. Pakde Giman pun bercerita kalau tugas utama Pasukan Garuda untuk menjaga perdamaian dunia di bawah komando Perserikatan Bangsa-Bangsa, bukan untuk berperang.
Selain Pakde Giman, kakak sepupu ibu juga seorang tentara. Saya jarang bertemu dengannya, hanya sering menyaksikan fotonya yang sengaja digantung mBah Uti di dinding rumahnya. Di foto itu ia tampak gagah dan membawa tongkat komando.
Saya hanya mengagumi sosok tentara, di hati tidak ada keinginan untuk menjadi seorang tentara.
Ketika saya kuliah, beberapa teman mengikuti seleksi Milsuk/militer sukarela dan diterima. Lagi-lagi, saya dibuat kagum oleh penampilan teman kuliah saya saat berseragam tentara.
Ada cerita yang lain mengenai tentara? Ntar sambung lagi….