Potensi kaum Waria

Perhatikan foto di atas. Apa yang ada di benak Anda? Mungkin Anda akan berpendapat foto itu adalah seorang wanita anggun sedang bernyanyi di atas panggung dengan gaun glamour berwarna pink. Rupanya, Anda terkecoh. Ia bukan seorang wanita namun waria!

Waria bernyanyi dengan gaun glamour tersebut adalah salah satu babak dalam Cabaret Show yang saya tonton di Bangkok beberapa waktu lalu. Adegan lain berupa tari-tarian yang rancak dan kocak, termasuk menampilkan waria yang berbadan subur-makmur berpakaian tradisional Jepang. Namanya juga kabaret, pentas ini melibatkan banyak pemain dan semuanya lelaki dalam wujud waria.

Menyaksikan mereka berpentas seni selama satu jam di gedung yang mentereng rasanya sebanding dengan harga tiket yang berkisar 300 ribuan, ongkos ini termasuk antar-jemput dari hotel ke gedung pentas.

~oOo~

Bandingkan dengan para waria di negeri kita. Mereka mengamen di lampu-lampu merah atawa berjalan sepanjang koridor pertokoan bermodalkan kecrekan dari tutup botol atawa kotak kayu dengan “senar” dari karet ban. Beberapa di antara mereka bersuara merdu, tak sedikit yang bernada sumbang.

Tak banyak yang mereka dapatkan. Mungkin habis untuk membeli lipstik dan bedak, dua kosmetik yang mereka andalkan untuk mengekspresikan diri kalau mereka seorang wanita.

Kontras sekali dengan Cabaret Show yang memang semuanya terprogram dengan sangat profesional, mulai dari gerakan tariannya, properti panggung, kostum, dan sebagainya. Semua dikemas dan dijual sebagai objek wisata untuk menarik para turis yang datang ke Thailand.

~oOo~

Di Indonesia, kaum waria menjadi kaum terpinggirkan. Selain sebagai pengamen dan mangkal di taman-taman untuk menarik lelaki hidung kembang-kempis, profesi yang banyak mereka tekuni adalah bekerja atawa membuka salon kecantikan.

Saya yakin, potensi kaum waria sama dengan kaum lelaki maupun perempuan. Sedikit dari mereka bisa menjadi peracang busana yang terkenal atawa menjadi modelnya. Potensi yang mereka miliki mestinya ada yang memerhatikan, membina dan menyalurkan potensi tersebut menjadi sebuah peran serta atawa kiprah kaum waria di tengah masyarakat, sehingga tak perlu mencari nafkah di jalanan.

Tapi, siapa yang peduli?