Hal kelahiran Pak Harto

Yogyakarta 1921. Desa Kemusuk, kelurahan Argomulyo, Godean. Gubug kecil segi empat berdinding anyaman bambu, disangga dengan tiang-tiang kayu, tidak cukup kuat menahan berat genteng terbuat dari tanah terakota, nampak rapauh agak miring. Dinding rumah dari anyaman bambu, dibagi menjadi tiga bilik. Bilik depan berfungsi sebagai ruang tamu sekaligus sebagai ruang makan, tanpa jendela dan berlantai tanah. Bilik tengah berfungsi sebagai satu-satunya kamar tidur, dengan jendela kecil. Bilik terakhir di belakang kamar tidur adalah dapur, dengan perabitan yang terbuat dari tanah liat (terakota).

Rumah gubug itu dihuni psangan suami istri Kromodirjo (mbah Kromo). Mereka sedang menanti kelahiran cucunya. Anak pertama dari Sukirah, anak mbah Kromo. Mbah Kromo putri (istri mbah Kromo), kebetulan seorang dukun bayi yang akan membantu kelahiran cucunya sendiri.

Tidak ada ketegangan, kegelisahan dan kekawatiran tersirat dari raut muka mereka. Tidak ada kerabat yang datang menunggu kelahiran sang jabang bayi. Kelahiran seorang anak manusia adalah hal yang sangat lumrah bagi kebanyakan orang desa.

Setelah sang jabang bayi lahir, tidak ada tangis keharuan dan tidak ada kegembiraan yang meluap. Semuanya berjalan wajar, seolah tidak terjadi sesuatu. Mbak Kromo hanya memandikan dengan air hangat, dikeringkan dengan handuk, diselimuti dengan kain, selesai sudah prosesi kelahiran seorang anak manusia.

Kertosudiro, ayah sang jabang bayi, memberi nama anaknya Suharto, lahir sehat dan selamat dari rahim seorang ibu muda Sukirah. Kelahiran dijalani sebagai kewajiban semata, karena sudah menjadi “Kersaning Allah” (kehendak Tuhan), manusia hanya sekedar menjalani kehendakNya. Tidak semua kelahiran disambut dengan sukacita. Kelahiran terkadang disambut dengan keprihatinan dan kepasrahan, karena perlu biaya untuk merawat dan membesarkannya.

Anak adalah pemberian Tuhan yang wajib diterima, berapapun Tuhan memberi atau tidak diberi sama sekali. Mereka sekedar menerima titipan dari sang Pencipta atas kuasa dan kehendakNya. Terlahir miskin, dibesarkan di lingkungan miskin, dihadang dengan kendala keterbatasan, sampai sang Pencipta mengambilnya kembali.

Berita kelahiran Suharto di kampung kemusuk ditanggapi sedikit berbeda dengan kelahiran bayi pada umumnya. Kata orang, dia masih keturunan seorang pangeran dari Keraton Mataram. Warna kulitnya putih bersih, raut mukanya imut, berhidung mancung, membedakan Suharto dengan anak desa lainnya.

~oOo~

Sukirah adalah kembang desa Kemusuk. Pada suatu hari bertemu dengan seorang Pangeran yang sedang melakukan penyamaran (incognito), ke kampung Godean. Seminggu kemudian dua orang utusan dari Keraton Yogya datang, memberi perintah untuk menghadapkan Sukirah kepada sang Pangeran. Sukirah dihadapkan kepada sang Pangeran, di sebuah pesanggrahan Keraton di Desa Kaliurang. Orang tuanya berharap suatu saat nanti, anaknya akan dijadikan selir sang Pangeran. Harapan tinggal harapan, karena ternyata anaknya diantar pulang oleh dua utusan yang sama, dalam kondisi hamil muda, kemudian dinikahkan dengan seorang ulu-ulu desa atas inisiatif pamannya.

Setelah Suharto lahir, Sukirah berkeras hati menuntut pengakuan sang Pangeran. Suaminya tidak setuju, hingga berakhir dengan perceraian, empat belas hari setelah kelahiran Suharto. Sukirah mewujudkan tekadnya, berangkat ke Keraton Mataram untuk menjalani “pépé” di depan Keraton. Pépé adalah hak yang diberikan kepaeda rakyat jelata, untuk menghadap Raja menuntut keadilan kepada Raja. Caranya dengan berjemur diri sepanjang siang hari di Alun-alun Lor (utara).

Artikel di atas saya kutip dari buku Sindrom Mataram Bagian 3 Rakyat Jelata halaman 13-14. Buku ini ditulis oleh Pramudito Sumalyo (Pustaka Sinar Harapan, Maret 2011).

Bagaimana dengan kelahiran Pak Harto berdasarkan versi tokohnya sendiri? Saya kutipkan dari buku otobiografi Soeharto Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (G. Dwipayana dan Ramadhan KH, PT Citra Lamtoro Gung Persada, 1989) pada Bagian 2 Akar Saya dari Desa:

Ingatan saya tentang perjalanan hidup ini bermula ketika saya berumur tiga tahun. Waktu itu saya sudah bersama mBah Kromodiryo, dukun yang biasa menolong orang yang melahirkan. Nama panggilannya mBah Kromo, adik kakek saya, mBah Kertoirono. Beliaulah yang menolong ibu saya, Ibu Sukirah sewaktu melahirkan saya. Maka beliau pun bercerita bahwa saya dilahirkan pada tanggal 8 Juni tahun 1921, di rumah orang tua saya yang sederhana, di desa Kemusuk, dusun terpencil, di daerah Argomulyo, Godean, sebelah barat kota Yogyakarta.

Ayah saya, Kertosudiro, adalah ulu-ulu, petugas desa pengatur air, yang bertani di atas tanah lungguh, tanah jabatan selama beliau memikul tugasnya itu. Beliau yang memberi nama Suharto kepada saya.

Saya adalah anak ketiga. Dari istri yang pertama beliau mempunyai dua anak. Sebagai duda, beliau menikah lagi dengan ibu saya. Tetapi hubungan orang tua saya kurang serasi hingga akhirnya setelah saya dilahirkan, mereka bercerai.

Beberapa tahun kemudian Ibu Sukirah menikah lagi dengan seorang yang bernama Atmopawiro. Pernikahannya ini melahirkan tujuh orang anak. Sementara itu ayah saya pun menikah lagi dan mendapatkan empat anak lagi.

Tak terkira sebelumnya, bahwa pada suatu waktu di hari tua saya, saya mesti menjelaskan silsilah saya karena ada yang menulis yang bukan-bukan di bulan Oktober 1974 di sebuah majalah. Saya menyuruh Dipo (G. Dwipayana) membantah tulisan itu, dan memuatkan bantahannya di dalam majakah dan surat kabar harian yang terbit di Jakarta. Tetapi selang sehari saya perintahkan supaya wartawan-wartawan berkumpul di Bina Graha, di kamar kerja saya. Saya ingin secara pribadi menjelaskan silsilah saya itu. Di depan wartawan luar dan dalam negeri saya beberkan, saya bukan seseorang dari keturunan ningrat. Saya hadapkan dalam pertemuan dengan wartawan-wartawan itu beberapa orang tua, saksi-saksi yang masih hidup yang mengetahui benar-benar silsilah saya. Saya adalah keturunan Bapak Kertosudiro alias Kertorejo, ulu-ulu yang secara pribadi tidak memiliki sawah sejengkal pun. Saya berterus-terang, di dalam menghapi kehidupan sewaktu kecil, saya mengalami banyak penderitaan yang mungkin tidak dialami oleh orang-orang lain. Saya katakan, tulisan-tulisan yang tidak benar mengenai silsilah saya itu mungkin bisa ditafsirkan yang tidak-tidak atau memberikan bahan yang mungkin tidak hanya merugikan saya pribadi, tetapi juga keluarga dan leluhur saya dan mungkin juga sampai kepada negara dan bangsa Indonesia.