Aswatama Ngamuk

Darah Aswatama menggelegak begitu mendengar rajanya tergolek sekarat setelah diserang oleh Bima. Ya, dalam perang Bharatayuda Prabu Duryodana lawan-tanding dengan Bima, tengahnya Pandawa. Bima mengalahkan Duryodana dengan licik yakni memukul bagian bawah perut yang di dalam aturan perang para ksatria tabu untuk melakukan hal itu.

Aswatama pantas geram melihat situasi tersebut. Ingatannya masih segar betul, ketika ayahnya dibunuh Pandawa dengan cara licik juga. Durna dibunuh oleh Pandawa ketika ia telah membuang senjata dan dalam posisi bersemedi.

Nafas Duryodana satu-satu. Ajal sudah berada di tenggorokannya. Ia masih bisa memalingkan mukanya ketika Aswatama menghampirinya. Dengan susah payah ia memberikan perintah kepada punggawa Kurawa yang setia itu, “Aswatama, aku angkat kamu menjadi senapati Kurawa. Hancurkan Pandawa untuk kejayaan Kurawa!”

Aswatama menghaturkan sembah dan berlalu dari hadapan rajanya. Malam gelap. Ia kembali ke tenda untuk beristirahat memulihkan tenaga untuk peperangan esok hari. Namun, langkah kakinya tertahan ketika ia melihat seekor burung hantu yang memangsa burung-burung kecil yang tengah beristirahat di dahan-dahan pohon. Tanpa perlawanan, burung-burung kecil itu masuk ke perut burung hantu. Aswatama tersenyum menyaksikan peristiwa tersebut.

Ia urungkan pergi ke tendanya. Ia belokkan langkah kakinya ke tenda Mahaguru Kripa. Sepi. Mahaguru Kripa sudah terlelap di atas pembaringannya. Ia membangunkan Mahaguru Kripa untuk menyampaikan rencana besarnya.

“Maaf guru, saya terpaksa membangunkan panjenengan. Sebaiknya, malam ini juga kita serang Pandawa mumpung mereka tengah lengah tak berdaya.”

Aswatama pun menceritakan perihal burung hantu yang memangsa burung-burung kecil tak berdaya, dan peristiwa itulah yang mengilhaminya untuk menyerang Pandawa.

Hus! Ora ilok, Aswatama. Itu bukan cara ksatria dalam peperangan.”

“Guru, dalam siasat perang kita boleh menyerang musuh yang sedang tercerai berai dan kepayahan. Lagi pula saat ini raja kita terluka parah, mengapa kita tak boleh menyerang musuh yang sedang tidur?”

“Tidak muridku. Cara seperti itu tidak boleh digunakan. Itu salah satu kejahatan perang. Kita mesti memegang teguh aturan perang. Kita ini golongan ksatria.”

“Guru, ingatkah kecurangan-kecurangan perang yang dilakukan Pandawa? Siang tadi, Bima menyerang Prabu Duryodana di bagian bawah perutnya. Bukankah itu melanggar aturan perang? Ayahku, Durna, dibunuh ketika ia telah membuang senjata dan duduk bersila untuk bersemedi. Lalu, Adipati Karna dibunuh ketika ia sedang memperbaiki roda keretanya yang terperosok di lumpur Padang Kurusetra. Apa kita hanya diam terhadap kecurangan-kecurangan tersebut? Tidak. Aku Aswatama yang telah diangkat menjadi senapati Kurawa, malam ini juga akan menumpas Pandawa! Aku nggak peduli seandainya nanti para dewata mengutukku menjadi burung pemakan bangkai, aku nggak peduli! Tanpa restumu guru, aku tetap akan berangkat ke markas Pandawa.”

Aswatama tak dapat menahan amarahnya, bahkan sebutan saya tanpa ia sadari telah berubah menjadi aku. Demikianlah bara dendam itu mulai membakar hati Aswatama.

~oOo~

Aswatama melesat cepat untuk menuju perkemahan Pandawa. Satu per satu ia menyatroni tenda-tenda prajurit Pandawa. Siapa pun yang tengah tidur di dalam tenda dibunuhnya tanpa belas kasihan. Suara burung-burung gagak yang parau mulai terdengar. Tanda banyak mayat yang bergelimpangan di bawah tempatnya bertengger. Tak hanya prajurit yang dibunuhnya. Aswatama menyibak tenda para pangeran dan putra-putra Pandawa yang telah menanggalkan baju perang mereka. Senjata Aswatama menusuk dada-dada mereka. Sangat bengis.

Sebelum meninggalkan perkemahan Pandawa, ia sulut api dan membakarnya. Lautan api di markas Pandawa. Aswatama segera pergi untuk menemui rajanya yang sekarat itu.

~oOo~

“Prabu Duryodana, saya telah menjalankan darma bakti kepada Klan Kurawa. Tugas yang engkau bebankan di pundak saya telah selesai. Pandawa telah saya musnahkan. Saya menunggu titah paduka selanjutnya.”

“Aswatama, aku senang mendengar laporanmu ini. Tak salah aku mengangkatmu menjadi senapati Kurawa. Kakek Bhisma dan saudaraku Karna pasti turut bangga dengan sepak terjangmu. Kamu tekah membanggakan hatiku dan Klan Kurawa. Kini, aku pun bisa mati dengan tenang.”

Maka, Duryodana menutup mata untuk selama-lamanya.