Rahasia mi Gino

Menjelang pulang kantor perut saya berbunyi kriuk-kriuk tanda minta diisi. Maklum nggak sempat makan siang. Kalau sudah dalam keadaan lapar seperti itu, Gino yang jadi andalan saya. Apalagi kalau bukan urusan membuat indomi rebus. Semua orang kantor mengacungkan jempol kepada Gino untuk urusan per-indomi-an. Ada yang bilang nyoto-roso, ada juga yang bilang mantep-roso, ada juga yang cluluk indomi buatan Gino mak nyuss tenan.

Gino pun menyajikan indomi yang masih kebul-kebul di meja saya. Tak lupa menyertakan pula teh tawar panas agak kental.

Ntar dulu No, duduklah sebentar di sini!”

“Ada apa to Kyaine?”

Halah… tumben panggil saya dengan sebutan Kyaine!”

“Hi..hi… lama banget Kyaine nggak masukin nama saya di Padeblogan.”

“Ya..ya… tenang saja. Makanya kamu tak suruh duduk di sini sebentar. Begini No…”

OB teladan tersebut memasang muka serius. Nampan kayu dipeluknya dengan erat. Tangan kanannya menggeser cangkir teh tawar mendekat ke arah saya.

“Kamu kudu terus terang. Blaka suta, jangan ada yang ditutup-tutupi. Aku mau tanya ke kamu!”

“Ada apa to Pak, sajaknya kok serius sekali.”

Tuh… saking seriusnya kamu nggak panggil aku Kyaine lagi to? Ngene No, mbok kamu membagi rahasia kepadaku. Wis to, ntar rahasianya tak simpan rapat-rapat, nggak tak ceritakan ke orang lain. Piye?”

Pripun apanya? Rahasia apa, Pak?”

“Begini. Ini perkara indomi. Ini loh yang tersaji di depanku ini. Lha kok kamu masak mi bisa enak seperti ini, rahasianya apa? Aku di rumah yang sering bikin mi seperti ini, tapi kok rasanya biasa-biasa saja. Tapi mi bikinanmu kok muantep tenan rasane?”

Ealah…. Saya kira rahasia apa. Jebulnya perkara indomi ini to. Begini Pak Kyaine, ini nggak ada rahasia apa-apa kok.”

Nggak mungkin nggak ada rahasia. Maksudku piye caramu masak, mbok diceritakan?”

Inggih. Masaknya yang biasa-biasa saja. Rebus mi dalam 400 cc, kira-kira dua gelas. Direbus dalam air mendidih selama 3 menit sambil diaduk. Nah, sementara mi tersebut direbus, saya campurkan bumbu-bumbu yang ada ke dalam mangkok. Terus saya tuangkan mi dan kuah yang mendidih tadi ke dalam mangkok, lalu saya aduk dengan bumbu hingga merata. Mi lezat siap disajikan!”

“Hanya begitu?”

Lha inggih. Kan memang begitu cara penyajian yang tertulis di bungkus indomi. Pripun to?”

“Ukuran air ya kamu ukur beneran, pakai gelas gitu?”

Lha inggih.”

Ngrebusnya ya tepat 3 menit gitu?”

Lha inggih. Kan petunjuknya begitu!”

Matur nuwun, No. Wis sekarang tak nikmati dulu mi ini. Ntar keburu dingin nggak enak lagi!”

Saya pun menikmati indomi buatan Gino. Memang enak tenan, nggak seperti kalau membuat sendiri. Saya membayangkan saat saya membuat indomi. Memang, saya nggak pernah mengukur volume air apalagi mencatat waktunya. Semua berdasarkan perasaan saja. Tanpa terasa mi di mangkok saya sudah tandas tinggal kuahnya.

Inilah puncak kenikmatan makan indomi rebus. Mangkok saya angkat, untuk saya mendekatkan bibir mangkok ke bibir saya. Pelan namun pasti, saya seruput kuah mi di dalam mangkok. Kering sudah.

Ketika saya membereskan mangkok dan cangkir teh ke dapur saya jadi ingat kata-kata Gino. Saya lirik di tempat sampah ada bekas bungkus mi. Saya ambil dan saya baca tulisan yang ada di situ terutama cara penyajian. Persis yang dikatakan Gino. Saya yakin cara penyajian yang ditulis oleh pabrik mi pasti sudah melalui bermacam uji-coba, sehingga ketemu cara penyajian yang sempurna.

Kata Robert LeRoy Ripley: percayalah!