Juli 1980
Hari itu saat pertama saya duduk di bangku SMP. Seragam sekolah SMP jaman saya dulu, atas putih celana (pendek) warna khaki. Saya di kelas 1B, teman sekelas ada yang teman di SD dulu, tiga atawa paling banyak empat orang.
Seorang guru memasuki kelas. Perempuan cantik, yang campur aduk antara manis dan wajah memesonakan yang melihatnya. Perawakannya termasuk kecil dibandingkan ibu saya. Ketukan sepatunya saja sudah terdengar merdu. Ia berjalan mendekap sebuah buku besar bersampul batik hijau, sementara bahu kanannya tersampir tasnya. Ia memakai seragam guru berwarna abu-abu tua.
“Selamat pagi anak-anak!” sapanya ramah, soalnya ia menyertakan senyuman manis dan hangatnya. Suaranya tidak stereo, tapi agak-agak sengau (mirip-mirip suaranya Fifi Aleyda Yahya atawa Fessy Alwi, keduanya penyiar Metro TV), membuat saya betah mendengarkan setiap uraiannya.
Sesi perkenalan pun dimulai. Ia menuliskan namanya di papan tulis: Adinda Jumiatie. Aha, saya harus memujinya lagi. Tulisannya bagus banget (guru jaman dulu, rata-rata tulisannya bagus-bagus). Ia wali kelas 1B, yang juga mengajar Biologi.
Bisik-bisik di antara murid cowok, kami menjuluki ibu wali kelas dengan si “Guruku Cantik Sekali”. Memang kebetulan, di tahun 1980 ada film nasional yang sangat fenomenal dengan peran utama Leny Marlina yang berjudul “Guruku Cantik Sekali”. Film ini meraih penghargaan khusus di FFI 1980 untuk kategori film yang memberikan kesadaran pelestarian alam.
Hari-hari selanjutnya, saya merindukan pelajaran Biologi, tentu saja yang paling utama merindukan ibu gurunya.
6 tahun kemudian
Setting cerita ada di bus jurusan Karanganyar – Solo. Saat itu saya akan kembali ke Yogya untuk kuliah. Bus berhenti, ada seorang penumpang yang mau naik. Ketika ia sampai di tangga kedua pintu depan, saya menatapnya. Oh, itu kan …
Ia duduk di sebelah saya. Kebetulan saya duduk di belakang sopir, bangkunya masih kosong satu. Ya, dia masih cantik dan mungilnya makin jelas dibandingkan dengan ukuran badan saya saat itu.
“Habis ngajar ya bu. Masih tinggal di Solo?” saya memberanikan diri menyapa. Maklum, ketemu idola grogi banget coy!
“Loh.. siapa ya. Kok saya pangling… “ suara sengaunya menghentak gendang telinga saya.
Wahai angin yang bertiup mengaduk-aduk aroma keringat penumpang bus.. ia tidak mengenalku lagi.. Hhh.. sebentar saja kok kecewa saya. Yah, muridnya kan banyak.. apalagi sudah beberapa tahun tidak bertemu. Bla..bla..bla.. kami ngobrol.
“Oh iya.. saya ingat sekarang…!” katanya mengagetkan saya.
Waktu seperti berhenti berputar, bus seakan melayang-layang di angkasa. Saya menunggu ia melanjutkan kalimatnya.
“Kamu dulu kan yang menggambar wajah ibu di buku paket biologi?” ia menebak, menunjukkan jemarinya ke wajah saya. Tapi tetap dengan senyum manisnya.