Gaji tidak berkah

Di depan mushola sebuah pabrik, tempat di mana saya bekerja dua puluh tahunan ini, baru saja saya menyelesaikan shalat dzuhur. Pundak saya ditepuk oleh teman yang tadi menjadi imam shalat. Kami biasa memanggilnya dengan sebutan ustadz.

Kok nggak ikutan demo kenaikan UMK?” sapanya.

Males, Tadz. Kalau saya pikir-pikir cuma dapat capeknya saja. Saya mau seperti ustadz, tenang bekerja nggak disibukkan dengan dema-demo rutin saban tahun,” tukas saya.

“Apa sih enaknya, gaji naik tetapi dengan cara demo menekan pemerintah atau pengusaha? Apalagi berteriak-teriak kalau kita sebagai buruh dizalimi oleh pengusaha. Saya mau tanya, betulkah bos yang punya pabrik ini menzalimi buruhnya?” tanya Ustadz.

Saya terpaksa mengunyah kalimat teman saya itu. Ia dan saya satu level, bahkan kerja satu shift, punya kepala shift yang sama pula. Tak heran kalau penghasilan bulanan kami hampir sama, bolehlah dikatakan serupa jika tanpa ada potongan koperasi. Dan betul ucapan teman saya itu, saya tak pernah mengalami intimidasi selama bekerja.

“Tapi sebetulnya sayang kan Tadz, setiap bulan kita bayar iuran anggota serikat pekerja tetapi nggak ikutan demo?” pancing saya.

“Logika yang aneh!” ucap Ustadz. “Memang kamu tahu, iuran anggota yang dipotong saban bulan itu jumlahnya berapa dan untuk keperluan apa?”

Saya tercenung. Tak pernah berpikir sejauh itu. Apa iuran itu untuk kesejahteraan anggota? Tetapi kenapa dengan cara demo untuk sejahtera?

“Hapemu ada kalkulatornya nggak?” pertanyaan Ustadz mengagetkan saya.

Saya mengeluarkan hape butut saya.

“Pimpinan serikat pekerja kita di pusat sana, kerja di pabrik apa?” tanyanya.

“Entah. Kalau nggak salah ia tidak bekerja sebagai buruh seperti kita. Waktunya habis untuk mengurusi nasib kita,” jawab saya sekenanya.

“Tapi para pengurus serikat pada kaya raya toh?” lagi-lagi pertanyaan pancingan yang saya dengar.

“Terus, Ustadz tadi tanya kalkulator untuk apa?” gantian saya bertanya.

Pimpinan serikat pekerja pusat yang saya menjadi anggotanya pernah berujar kalau jumlah anggota seluruh Indonesia mencapai 150.000 pekerja. Jika satu orang anggota dikenai iuran sebulan 2% dari gaji pokok (taruhlah gaji rata-rata buruh Rp 2.000.000, besarnya iuran Rp 40.000) maka sebulan akan terkumpul uang 150.000 X Rp 40.000 = Rp 6M! Oke, ambil 100.000 pekerja yang bayar iuran, akan mendapatkan angka Rp 4M.

Berapa kalau setahun? Tentu saja, Rp 4M X 12 bulan = Rp 48M!

Uang sebesar 48M ke mana? Ya, untuk aksi demo agar eksistensi mereka tetap diakui oleh para anggota serikat. Bisa dibayangkan kalau mereka diremehkan oleh para anggota, bisa-bisa para anggota memboikot tidak mau bayar iuran.

“Bisa jadi, saat kamu dan teman-teman berdemo berpanas ria dan berantem sama petugas keamanan di lapangan, para pimpinan serikat pekerja malah sedang ngopi dan melahap kue di lobi hotel berbintang tujuh, duduk di kursi yang empuk mentul-mentul dengan ruangan berpendingin udara yang membuat mata terkantuk-kantuk,” kata teman saya sambil beranjak ke arah kantin.

Apa ya begitu?