Judul buku : Elegi Cinta Maria * Pengarang : Waheeda El-Humayra * Penerbit : Mizania, 2009 * Tebal : 572 halaman + lampiran
Elegi Cinta Maria – Novel tentang cinta Nabi Muhammad SAW dengan istri asal Mesir, merupakan karya sastra Waheeda El-Humayra setelah karya sastra pertamanya terdahulu yang berjudul The Sacred Romance of King Sulaiman & Queen Sheba. Waheeda, yang mempunyai nama asli E.P. Irjayanti ini sungguh cerdas meramu sebuah cerita yang menyentuh hati dan sarat pengetahuan terutama tentang Maria Qibthiyah, salah satu istri Nabi SAW. Sosok Maria ini paling terlupakan dari memori umat muslim. Padahal dari buah cinta Nabi SAW dengan Maria, lahirlah seorang putra bernama Ibrahim, putra Nabi SAW satu-satunya yang lahir selepas Nabi SAW diangkat sebagai utusan Allah.
Dalam pengantarnya, Waheeda memberikan konfirmasi kepada pembaca bahwa sebagian tokoh yang ada di novel ini benar-benar hidup di masa Rasulullah SAW, seperti Maria, Shirine, Ma’bur, Syam’un, Muqauqis, Hathib Ibnu Abi Baltiah, Abdullah Ibnu Salam, Amr Ibnu Al-Jamuh, Muadh, Muawwadh, Khallad, Hindun dan Salma.
Novel ini bersetting di dua tempat penuh sejarah, yaitu Mesir dan Madinah, menceritakan kehidupan Maria yang dilahirkan dan dibesarkan oleh tradisi Kristen Koptik, sejak dia menjalani masa kecil di Mesir hingga wafatnya di Madinah. Hijrah Nabi SAW dari Mekkah ke Madinah, pendirian masjid Quba dan masjid Nabawi serta kehidupan masyarakat Madinah pada saai itu diceritakan juga di novel ini.
Di dalam novel ini akan didapatkan suatu gambaran betapa Nabi SAW menjadi contoh paling ideal sebagai seorang suami. Saya nukilkan satu paragraf di halaman 329 :
Maria selalu berhasil dan cukup pandai untuk menerjemahkan arti pandangan dan tatapan Nabi. Pagi itu, di bawah langit bersemburat kelabu dan dikelilingi barisan pohon kurma yang daunnya melambai malu-malu, Maria menatap Nabi dan dirinya hanya menemukan ketulusan, dan ketulusan, dan sekali lagi ketulusan di mata lelaki yang, entah bagaimana, selalu tampak mulia itu. Dari cara Nabi memandangnya, Maria tahu dan Maria seolah-olah mendengar Nabi bertanya lembut penuh harap kepadanya, “Bagaimana? Kau senang, Maria?”
Simak salah satu komentar untuk buku ini : “Novel ini bukan hanya milik orang Islam, kaum Nasrani pun perlu membacanya. Dua jempol untuk karya yang ‘seimbang’ dan penuh toleransi ini!” – Damianus Rewa, S.Pd, pemuka agama Kristen.
Jika Anda sudah membaca novel ini, bagaimana kesan Anda?