Pada suatu perjalanan ke Bandung setelah mengantar Lila kembali ke asramanya beberapa waktu lalu, saya mampir makan malam di sebuah rumah makan khas Sunda di Jl. Pasteur. Interior rumah makan ini diset kental dengan suasana Sunda, termasuk memajang koleksi wayang golek. Sambil menunggu makanan disajikan saya amati satu-persatu koleksi wayangnya. Saya tertarik pada tokoh Drona, dan sepintas saya mainkan wayang itu dengan menggerakkan tangan-tangannya.
Kemudian terjadi dialog antara Kika dan saya.
Nama wayang ini siapa Pa?
Drona atawa Durna. Dikenal dengan sebutan Pandita Drona. Ia putra seorang brahmana, Bharadwaja. Sejak kecil ia sudah belajar seni dan ketrampilan menggunakan berbagai senjata perang di pesantren milik ayahnya.
Memang kenapa ia belajar senjata perang, bukannya ia seorang pendeta yang seharusnya anti-perang?
Nah itulah uniknya sifat Drona ini. Syahdan, ayah Drona bersahabat karib dengan Drupada, pangeran dari Kerajaan Pancala. Drupada pernah berjanji kepada Drona, kelak kalau Drupada menjadi raja ia akan menyerahkan separoh kerajaannya untuk Drona.
Terus?
Drona akhirnya lulus dari belajarnya. Tak lama kemudian ia menikah dengan adiknya Resi Kripa, seorang penasihat Kerajaan Hastinapura. Drona punya anak bernama Aswatama1. Rumah tangga Drona tergolong sederhana bahkan cenderung melarat. Aswatama yang tumbuh semakin besar, kebutuhan ekonomi rumah tangga Drona pun semakin memerlukan biaya yang semakin besar. Drona ingat janji Drupada, yang saat itu sudah menjadi raja di Kerajaan Pancala menggantikan tahta ayahnya.
Drona mulai berfikiran matre ya?
Betul. Selain matre, ia juga punya sifat licik yang akut2. Ia pun pergi menemui Drupada, dengan pakaian kumalnya. Tentu saja, Drupada tidak mengenalinya dan ingkar terhadap janji yang ia ucapkan ketika Drona masih nyantrik di pesantren ayahnya. Ia mengusir Drona dan mengatakan kalau pendeta miskin semacam Drona tak pantas datang menemui raja Pancala yang terhormat. Drona sakit hati dan tumbuh sifat dendam kesumatnya kepada sahabat ayahnya itu.
Apa yang dilakukan Drona selanjutnya?
Ia keluar dari istana Pancala dengan kemarahan yang terpendam dan berjanji akan membalaskan dendamnya di masa mendatang. Drona berkelana seperti gelandangan. Di perjalanan ia mendengar, ada mahaguru yang bernama Parasurama sedang membagikan kekayaan yang dimilikinya kepada para brahmana dan pendeta. Drona bergegas menemui Parasurama, namun memang sedang nasib buruknya Drona. Ia datang terlambat.
Drona nggak dapat apa-apa?
Ho-oh. Waktu itu, harta Parasurama sudah habis dibagikan lalu ia pergi ke tengah hutan untuk bertapa. Nah, Drona pergi menyusulnya, siapa tahu masih ada sedikit harta yang bisa diperolehnya dari mahaguru itu. Hati Parasurama trenyuh ketika Drona mengiba kepadanya. Parasurama ingin memberikan sesuatu kepada Drona, maka ia menawarkan mengajar Drona seni olah senjata. Drona menyambut dengan hati gembira.
Bukannya Drona sudah ahli dalam seni olah senjata waktu belajar di pesantren ayahnya?
Betul. Tapi namanya belajar tak boleh berhenti. Apalagi seni olah senjata yang diajarkan Parasurama itu membikin Drona semakin canggih ilmunya. Setelah lulus dari gemblengan, Parasurama merekomendasikan Drona supaya melamar menjadi guru di istana Hastinapura. Singkat cerita, Drona diterima menjadi guru para pangeran Wangsa Bharata dan sejak saat itu Drona hidup layak di istana bersama para bangsawan.
Dendamnya kepada Raja Pancala bagaimana, Pa?
Nanti kapan-kapan papa ceritakan. Sekarang kita makan dulu. Perut sudah lapar nih.
Catatan kaki:
1Beberapa kisah tentang Aswatama pernah disajikan melalui artikel berjudul Banowati tidak setia, tahu?!, Pandawa bohong, dan Aswatama ngamuk.
2Sifat licik Drona bisa dibaca dalam kisah Tanda Bakti Ekalaya kepada Gurunya