Demo dan Judi Buntut

Setiap hari Senin pukul 09.00 teng, RM Ario Trengginas mengadakan meeting koordinasi di lingkungan divisinya. Lengkap tidak lengkap peserta meeting, RM Ario Trengginas akan memulainya. Ia sangat menghargai orang yang tepat waktu. Kalau meeting dimulai menunggu semua berkumpul, kasihan yang disiplin, keenakan yang datang lelet. Meskipun demikian, ada saja peserta yang datang terlambat.

Kali ini yang datang terlambat Bang Entarajé. Ini bukan nama sebenarnya, karena ia suka menunda pekerjaan maka dijuluki seperti itu – nanti saja. Selesai meeting RM Ario Trengginas bertanya kepada Bang Entarajé, apa yang menyebabkan ia terlambat datang ke kantor.

“Wuah… ada demo besar-besaran Denmas. Pendemo menutup tol, je!” jawab Bang Entarajé berapi-api.

Loh, bukannya demo terjadi hari Jumat yang lalu? Yang ditutup tol mana, Bang?” tanya RM Ario Trengginas.

Bang Entarajé gelagapan. Sebetulnya, ia bangun kesiangan. Semalaman ia menyelesaikan laporan yang penuh dengan angka-angka yang harus dipresentasikan di meeting koordinasi ini. Mata RM Ario Trengginas tak lepas dari wajah Bang Entarajé, sehingga membuat Bang Entarajé grogi dan mengakui kalau perkara demo itu karangannya belaka.

RM Ario Trengginas tidak mau mempermalukan Bang Entarajé, malah mencairkan suasana dengan main tebak-tebakan lucu. Mau tahu tebakannya?

“Kenapa jaman Pak Harto masih berkilau saat berkuasa dulu tidak ada demo?” tanya RM Ario Trengginas. Dan jawaban yang terlontar kebanyakan seputar: rakyat takut demo karena tindakan represif militer. RM Ario Trengginas membenarkan jawaban itu, tetapi ada satu jawaban yang membuat peserta meeting tersenyum dan menggangguk-anggukkan kepala tanda setuju.

“Jaman dulu sengaja diciptakan judi buntut yang sangat disukai oleh rakyat Indonesia,” RM Ario Trengginas mulai mendiskripsikan pikirannya. “Dulu itu ada yang namanya NALO, Undian Harapan, Porkas, dan SDSB. Proyek ini atas restu pemerintah. Beda dengan Togel. Namanya juga Toto Gelap, nggak terang benderang.”

“Terus hubungannya dengan demo apa dong Denmas?” tanya Bang Entarajé.

“Ya, rakyat di pelosok negeri sibuk nyonji, ngutak-utik nomor. Mereka sibuk menerjemahkan mimpi dan wangsit untuk menjadi sebuah nomor jitu yang akan dipasang dan deg-degan menunggu angka yang akan keluar. Nah, karena kesibukannya itulah mereka mana sempat memikirkan demo? Memikir nasib anak-bini saja boro-boro. Meskipun saat itu orang-orang bergerombol, mereka tidak merancang demo, tetapi saling bertukar rumus angka-angka buntut. Tidak tua, tidak muda, semua terlibat dalam diskusi matematika judi buntut. Sebuah angka telah meruntuhkan sendi-sendi kehidupan rakyat , ” papar RM Ario Trengginas.

“Konon, olah raga negeri ini juga maju dan berprestasi ya Denmas, karena dibiayai judi Porkas?” pancing Bang Entarajé.

“Loh, kok Bang Entarajé malah tahu sih?” tukas RM Ario Trengginas. “NALO, National Lottery kemudian berubah nama menjadi Undian Harapan di jaman Orde Baru (?). Judi ini sudah ada sejak tahun 1960-an, dikenal dengan nama lotre buntut. Tahun 1965 Bung Karno melalui keputusannya menyatakan lotre buntut ini merusak moral bangsa dan bisa dikategorikan sebagai tindakan subversi. Pada masa Orde Baru, lotre ini terus berkembang sampai pelosok negeri.”

“Kalau cerita Porkas, bagaimana Denmas?” tanya Jokir yang ikut penasaran. Maklum, Jokir cuma sayup-sayup mendengar ada judi Porkas di masa kecilnya.

“Porkas berasal dari kata forecast, lengkapnya Kupon Berhadiah Porkas Sepak Bola. Akhir 1985, Porkas ini diresmikan, diedarkan, dan dijual dengan maksud untuk menghimpun dana masyarakat untuk menunjang pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga Indonesia. Dua tahun kemudian, Porkas berubah nama menjadi Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB), yang terdiri dari dua macam kupon: berisi tebakan sepak bola. SOB tidak lagi meneak menang-seri-kalah (M-K-S) seperti pada Porkas, tetapi juga skor pertandingan, bahkan skor babak pertama dan babak kedua. Kupon SOB kedua berisi tebakan sepak bola dan tebakan huruf. Jadi benar kata Bang Entarajé tadi,” papar RM Ario Trengginas, kemudian melanjutkan penjelasannya.

“Nah, kalau SDSB singkatan dari Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah, sebelumnya bernama TSSB singkatan dari Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah. Tujuan program ini yaitu menyumbang dengan beriktikad baik dan terbagi atas dua macam kupon: Kupon A seharga Rp 5.000 dengan hadiah semiliar, dan Kupon B seharga Rp 1.000 dengan hadiah Rp 3,6 juta. Kedua kupon ini diundi seminggu sekali dengan jumlah yang diedarkan mencapai 30 juta lembar terdiri Kupon A sebanyak 1 juta lembar dan Kupon B ada 29 juta lembar. Tahun 1994, pemerintah melarang dan mencabut izin SDSB ini.”

“Wah… usul ke pemerintah nih untuk menghidupkan kembali lotre, biar nggak pada demo,” kata Jokir.

“Kamu tahu Kir? Pada tahun 1994 pemerintah menghentikan SDSB karena sebelumnya didemo oleh para mahasiswa. Masak sekarang mau menghidupkan kembali lotre. Bisa bunuh diri massal tuh. Ingat petuah Bang Haji: apa pun nama dan bentuk judi, semuanya perbuatan keji. Apa pun nama dan bentuk judi, jangan dilakukan dan jauhi,” tukas RM Ario Trengginas, menirukan nada dan iramanya Bang Haji Rhoma Irama.

Kyaine senyam-senyum dan bergumam, “Sakjane, Denmas itu mau tebak-tebakan apa mau cerita sejarah perjudian di negeri ini sih?”