Dedalane guna lawan sekti

Tembang Mijil sangat akrab di telingaku. Sejak aku kecil, ibu selalu mendendangkan tembang tersebut meski lafal itu tak jawa-jawa amat. Konon waktu itu ibu baru tinggal di tlatah Kesultanan Ngayogyakarta sekitar tiga tahunan. Tetapi karena Tembang Mijil menjadi kelangenan ibu, ia hafal di luar kepala, baik lirik maupun artinya.

dedalane guna lawan sekti / kudu andhap asor / wani ngalah luhur wekasane / tumungkula yen dipun dukani / bapang den simpangi /
ana catur mungkur

jalan menuju kekuatan dan kesaktian / adalah sikap rendah hati / mau mengalah, pada akhirnya dimuliakan / tunduklah bila dimarahi / singkirilah angkara murka / menjauhlah dari pembicaraan (yang) tak bermutu

Tembang itulah yang aku dengar ketika aku memasuki sebuah Padepokan yang terletak di lereng Merapi. Seorang lelaki tua tengah mendendangkan tembang tersebut sambil menyaksikan tingkah-polah sepasang burung yang tengah menyulam sarang mereka. Berdasarkan referensi yang aku dapatkan dari teman-teman ibuku, aku harus menemui lelaki tua itu.

Ia menyambutku dengan hangat, meskipun pertemuan tersebut baru pertama kali bagi kami.

“Mau bertemu siapa, cah ayu?”

“Maaf, apakah aku sedang berhadapan dengan Kyaine Padepokan ini?”

Lelaki tua yang aku taksir berusia tujuh puluh tahunan itu mempersilakan aku duduk di kursi yang terbuat dari potongan kayu. Rimbun pepohonan membuat siang itu tak berasa terik.

“Namaku Kinanti Sekarlangit, Pakde!”

“Hmm, aku kok merasa pernah melihat wajah sepertimu ya Nduk. Kosik…kosik… tak eling-elinge. Tapi kenapa pula kamu memanggilku dengan sebutan Pakde? Pernahkah kita bertemu sebelumnya?”

Aku membaca raut muka lelaki tua di hadapanku. Sepertinya ia tak mampu menjamah syaraf ingatannya tentang diriku. Tentu saja ia tak bakal ingat, seperti yang aku bilang tadi, ini pertemuan pertama kali bagi kami.

“Aku anaknya Rahmini, Pakde.” Aku segera meraih tangan lelaki tua itu lalu menciumnya dengan takzim.

Lelaki tua itu terperanjat dan mencoba menguasai dirinya. Aku mendengar dari teman-teman ibuku, kalau lelaki tua dan ibuku tak pernah bertemu sekalipun, tetapi keakraban mereka hanya hujan bulan Juni saja yang dapat memahaminya.

“O, sudah besar kamu sekarang. Apa ibumu tahu kamu berkunjung ke sini?”

“Ia tidak tahu, Pakde. Aku sengaja ke sini untuk minta tolong kepadamu.”

Entahlah, tiba-tiba aku merasa akrab dengannya. “Hari ini ibuku ulang tahun, hadiah apa yang paling spesial untuknya?”

Lelaki tua itu mengambil almanak meja bertarikh 2034. Ia mengambil pensil dan melingkari sebuah tanggal yang jatuh di hari Kamis Wage.

“Kenapa kamu bertanya kepadaku, cah ayu?”

“Aku mendapatkan wangsit supaya bertanya kepada Pakde.”

“Ngomong-ngomong, kamu kuliah di mana?”

“Di Sastra Budaya UGM, Pakde. Baru semester dua.”

Lelaki tua itu tertawa hingga kelihatan satu-dua giginya yang telah tanggal. Sebuah tertawa kebanggaan, menurutku.

Elok tenan, Nduk. Tekuni sinau bab sastra lan budaya Nusantara ya. Kamu senang membuat sajak?”

Nggih, Pakde.”

“Hadiahi ibumu dengan sebait-dua sajak karanganmu!”

Tak pernah terpikir olehku kalau sebuah sajak menjadi hadiah ulang tahun paling spesial bagi orang yang sangat aku sayangi.